Minggu, 13 Desember 2015

Tafsir Balaghi

TAFSIR BALAGHI
(Kajian Kitab Sofwah al-Tafasir Karya Muhammad 'Ali Al-Shabuni Dalam Surat al-Qari’ah)

Oleh: Zainul Fata

Ayat al-Qur’an
الْقَارِعَةُ [1] مَا الْقَارِعَةُ [2] وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ [3] يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ [4] وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ [5] فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ [6] فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ [7] وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ [8] فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ [9] وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ [10] نَارٌ حَامِيَةٌ [11]
“Hari Kiamat. Apa hari Kiamat itu? Tahukah kamu apa hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia bagai anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu-bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukan kamu apakah Neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas”.

Makna mufradat
القارعة : salah satu nama dari nama-nama hari Kiamat. Penyebutan tersebut disebabkan Kiamat dapat menghancur-leburkan dan mengkosongkan (menghabiskan) seluruh alam.[1] Selain itu juga ada yang mengatakan karena dapat mengkoson hati ketika merasakan kondisi masa masa itu.[2] Kata al-Qari’ah merupaka isim musytaq dari masdar al-qar’ yang berarti al-dharb bi syiddah wa quwwah (hantaman yang keras dan kuat),sebagaimana perkataan orang Arab qara’athum al-Qāri’ah .... idzā waqa’a bihim amrun fdhzī’ (apabila kekejian telah menghinggapi manusia maka al-qari’ah pasti akan menghatam (melenyapkan) mereka).[3]

الفَرَاش : Binatang sangat kecilyang terlihat bertebaran ketika tekena sinar lampu pada malam hari.[4]

المَبْثُوْث : Bertebaran dan terpisah-pisah.

العِهْن : Bulu kibas wol yang berwarna atau diberi warna.[5]

المَنْفُوْش : Bulu-bulu yang terpisah dan tercerai-berai dengan seketika dari perkumpulannya sekalipun hanya karena hempasan angin yang kecil.[6]

الهَاوِيَة : Salah satu nama dari nama-nama neraka. Penyebutan ini disebabkan neraka itu dapat meleburkan manusia hingga menjadi abu dan bergurguran.[7]

Penjelasan ayat

Allah mengawali ayat ini dengan suatu ungkapan nama, yaitu al-Qari’ah (sesuatu yang membuat kosong/ habis). Ungkapan tersebut merupakan hal penting dan belum diketahui maksud detailanya oleh manusia, sehingga dilanjutkan oleh Allah pada ayat kedua dengan pertanyaan mengenai tema di atas, apa al-Qari’ah itu. Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk meminta jawaban dari manusia, akan tetapi ingin mengajak manusia untuk berfikir hingga pada saat manusia tidak dapat menjawabnya, maka akan tampak ketidak tahuan manusia. Selain itu, diksi  kata yang digunakan sebagai nama untuk peristiwa itu membuat manusia harus memberi perhatian lebih terhadap tema yang baru saja dipertanyakan, serta mereka harus berhati-hati dan waspada agar tidak jatuh pada jurang yang memilukan.[8]

Pertanyaan mengenai tema di atas bulum selesai, Allah meneruskan kembali tema pertanyaan yang sama akan tetapi dengan kalimat yang berbeda dan lebih mendalam, tahukah kamu apa hari Kiamat itu? Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah pertanyaan mengenai pengetahuan tentang tema tersebut tidak menggunakan derivasi kata ‘ilm, tetapi menggunakan kata idrak yang bermakna “sampainya sesuatu sebab sesuatu yang lain”[9], dalam artian pengetahuan itu dicapai dengan sesuatu yang lain dari manusia (akal). Dengan demikian, kira-kira tarjemah detailnya dari ayat di atas adalah “bisakah kamu mengetahui melalui jalan pikiranmu mengenai apa Kiamat itu?”. Pertanyaan seperti ini mengindikasikan pengertian tema tersebut berada di luar jangkauan pemikiran dan pengetahuan manusia. Sekali lagi dengan pertanyaan itu, Allah ingin memberi tahu betapa pentingnya tema itu, serta betapa besar dan menakutkan fenomena hari Kiamat.[10]

Setelah Allah bertanya kepada manusia dan manusia tidak mampu menjawab karna pengetahuan itu berada diluar jangkauannya, Allah pun menjelaskan gambaran fenomena besar tersebut yaitu, Pada hari itu manusia bagai anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu-bulu yang dihambur-hamburkan. Gambaran manusia dengan kata “al-farasy al-mabtsāts” menunjukkan betapa beasarnya fenomena itu hingga membuat manusia tidak berdaya, terlalu lemah dan sangat kecil menghadapinya. Bahkan orang yang sudah mati, mereka semua bangkit dari kuburan masing masing dan terhepaskan, mereka semua terlempar terpisah-pisah, bertebaran, dan terbentang dimana-mana. Tidak terkecuali gunung-gunung sebesar apapun pada saat itu tidak lebih dari sekedar kumpulan bulu-bulu yang bertebaran dan terpecah pecah dimana-mana hanya karena hempasan angin kecil saja.[11]

Peristiwa Kiamat bukan hanya sekedar fenomena hancurnya alam, lebih dari itu, peristiwa yang sangat menakutkan itu juga merupakan perantara atau awal dari perjanjian Tuhan (yaum al-wa’īd).  Dari sini kemudian, Allah melanjutkan firmannya “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah.” Mereka yang kuantitas amal kebaikan di dunia lebih banyak dari kuantitas amal jeleknya pada saat ditimbang, ganjaran yang akan didapatkan adalah hidup dalam kepuasan, bergelimang kenikmatan dan kebahagiaan. Sebaliknya, orang-orang yang amal baiknya lebih ringan dari amal kejelekannya, tidak ada tempat berlabuh (ummhū) bagi mereka keculi al-Hawiyah.[12]

Sebagaimana ayat kedua dari surat ini, Allah bertanya kembali serta menjelaskannya, tahukah kamu apa Hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas. Fungsi pertanyaan dan kalimat ini sama dengan ayat kedua di atas, yaitu memberi tekanan atau perhatian serta agar manusia mawas diri. Jika tidak, alamat yang akan mereka tuju adalah hawiyah, atau bapi yang memiliki panas tiada tanding, yang akan menghanguskan segala apa.[13]

Aspek-aspek Balaghah

      1.       وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ dan وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ merupakan istifham (kalimat tanya) yang berfungsi untuk takhfim (memberi perhatian lebih) dan tahwil (menggelisahkan).[14] Al-Qur’an dalam mengungkapkan kalimat tanya juga memiliki kesamaan dengan tujuan dasar dari pertanyaan tersebut, yaitu mencari pemahaman dan mengetahui sesuatu yang tidak diketahui. Model pertanyaan seperti ini akan banyak ditemukan dalam al-Qur’an, akan tetapi mayoritas istifhamnya menyalahi asal fitrahnya. Sebab ada maksud lain yang ingin dicapai atau disampaikan, hal ini dapat dipahami apabila melihat siyaq al-kalam.[15] Adapun diantara maksud tersebut adalah tafkhīm dan tahwīl. Maksud ini tercermin pada ayat yang sudah disebutkan di atas. Indikasinya adalah ayat tersebut menggambarkan kepada mukhatab tentang ketidakmapuan seseorang dalam mengatasi fenomena itu sebagaimana orang yang benar-benar dapat perlindungang dari Allah. Oleh karen itu seseorang yang ingin memahami hal demikian harus jeli dan tidak tergesa-gesa dalam memahami hakikat pertanyaan itu serta mencari qarinah-qarinahnya secara seksama.[16]

      2.       اَلْقَارِعَةُ، مَا الْقاَرِعَةُ؟ pada ayat ini Allah menempatkan posisi isim dhzahir pada posisi isim dhamir.  Hal seperti ini jika ditinjau dari kaidah bahasa tidaklah begitu benar, sebab jika sesuatu yang dimasudkan sudah disebutkan di awal, tidak perlu lagi menyebutkan untuk kedua kalinya, ia sudah cukup dipahami dengan cara menggunakan dhamir atau kata ganti yang kembali pada maksud sebelumnya. Dalam artian menurut kaidah bahasa untuk ayat kedua ini dapat digambarkan dengan kalimat القارعة، ما هي؟. Akan tetapi penempatan dhzahir dalam posisi dhamir juga harus dipahami secara seksama, sebab penggunaan demikian memiliki tujuan untuk menggetarkan hati manusia serta menakut-nakunya (takhwīf).

      3.       يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ dalam ayat ini terdapat sisi tasybih, yaitu tasbih mursal dengan menyebutkan ‘adah al-tasybih, serta tasybih mujamal dengan membuang wajh al-syibh yang berupa al-katsrah (banyaknya) dan al-intisyar (terpisah-pisah). aspek balaghi yang seperti ini juga tampak pada ayat selanjutnya وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ.

      4.       Adanya al-Muqabalah (perbandingan) dalam ayat فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ، فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ dengan ayat وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ، فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ.

      5.       فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ merupakan majaz al-‘aqly, dalam artian pemiliknya ridha terhadap keputusan yang diterima dalam kehidupannya.




[1] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, Dar al-Qur’an (Bairut: 1981), cet. 4, vol. 3, hal. 595
[2] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mushthafa al-Bani (Mesir: 1946), cet. 1, vol. 30, hal.225
[3] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[4] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226
[5] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226
[6] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226
[7] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[8] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[9] Abu al-Hasab Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr, (Bairut: 1979), vol. 2, hal. 269
[10] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[11] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226, dan Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[12] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[13] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[14] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[15] Ahmad Ahmad Badawi, Min Balahah al-Qur’an, Nahdhah Mishr (Mesir: 2005), hal. 126
[16] Ahmad Ahmad Badawi, Min Balahah al-Qur’an, 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar