TAFSIR BALAGHI
(Kajian Kitab Sofwah al-Tafasir Karya Muhammad 'Ali Al-Shabuni Dalam Surat
al-Qari’ah)
Oleh: Zainul Fata
Ayat al-Qur’an
الْقَارِعَةُ [1]
مَا الْقَارِعَةُ [2] وَمَا أَدْرَاكَ مَا
الْقَارِعَةُ [3] يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ
كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ [4] وَتَكُونُ
الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ [5]
فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ [6]
فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ [7] وَأَمَّا
مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ [8] فَأُمُّهُ
هَاوِيَةٌ [9] وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ [10] نَارٌ حَامِيَةٌ [11]
“Hari
Kiamat. Apa hari Kiamat itu? Tahukah kamu apa hari Kiamat itu? Pada hari itu
manusia bagai anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu-bulu
yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya,
maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan
timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan
tahukan kamu apakah Neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas”.
Makna mufradat
القارعة :
salah satu nama dari nama-nama hari Kiamat. Penyebutan tersebut disebabkan
Kiamat dapat menghancur-leburkan dan mengkosongkan (menghabiskan) seluruh alam.[1]
Selain itu juga ada yang mengatakan karena dapat mengkoson hati ketika
merasakan kondisi masa masa itu.[2] Kata
al-Qari’ah merupaka isim musytaq dari masdar al-qar’ yang
berarti al-dharb bi syiddah wa quwwah (hantaman yang keras dan kuat),sebagaimana
perkataan orang Arab qara’athum al-Qāri’ah .... idzā waqa’a bihim amrun fdhzī’
(apabila kekejian telah menghinggapi manusia maka al-qari’ah pasti akan menghatam
(melenyapkan) mereka).[3]
الفَرَاش : Binatang
sangat kecilyang terlihat bertebaran ketika tekena sinar lampu pada malam hari.[4]
المَبْثُوْث : Bertebaran
dan terpisah-pisah.
المَنْفُوْش : Bulu-bulu
yang terpisah dan tercerai-berai dengan seketika dari perkumpulannya sekalipun hanya
karena hempasan angin yang kecil.[6]
الهَاوِيَة :
Salah satu nama dari nama-nama neraka. Penyebutan ini disebabkan neraka itu
dapat meleburkan manusia hingga menjadi abu dan bergurguran.[7]
Penjelasan ayat
Allah
mengawali ayat ini dengan suatu ungkapan nama, yaitu al-Qari’ah (sesuatu
yang membuat kosong/ habis). Ungkapan tersebut merupakan hal penting dan belum diketahui
maksud detailanya oleh manusia, sehingga dilanjutkan oleh Allah pada ayat kedua
dengan pertanyaan mengenai tema di atas, apa al-Qari’ah itu. Pertanyaan
ini tidak dimaksudkan untuk meminta jawaban dari manusia, akan tetapi ingin
mengajak manusia untuk berfikir hingga pada saat manusia tidak dapat
menjawabnya, maka akan tampak ketidak tahuan manusia. Selain itu, diksi kata yang digunakan sebagai nama untuk
peristiwa itu membuat manusia harus memberi perhatian lebih terhadap tema yang
baru saja dipertanyakan, serta mereka harus berhati-hati dan waspada agar tidak
jatuh pada jurang yang memilukan.[8]
Pertanyaan
mengenai tema di atas bulum selesai, Allah meneruskan kembali tema pertanyaan
yang sama akan tetapi dengan kalimat yang berbeda dan lebih mendalam, tahukah
kamu apa hari Kiamat itu? Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah
pertanyaan mengenai pengetahuan tentang tema tersebut tidak menggunakan
derivasi kata ‘ilm, tetapi menggunakan kata idrak yang bermakna “sampainya
sesuatu sebab sesuatu yang lain”[9],
dalam artian pengetahuan itu dicapai dengan sesuatu yang lain dari manusia
(akal). Dengan demikian, kira-kira tarjemah detailnya dari ayat di atas adalah
“bisakah kamu mengetahui melalui jalan pikiranmu mengenai apa Kiamat itu?”.
Pertanyaan seperti ini mengindikasikan pengertian tema tersebut berada di luar jangkauan
pemikiran dan pengetahuan manusia. Sekali lagi dengan pertanyaan itu, Allah
ingin memberi tahu betapa pentingnya tema itu, serta betapa besar dan
menakutkan fenomena hari Kiamat.[10]
Setelah
Allah bertanya kepada manusia dan manusia tidak mampu menjawab karna
pengetahuan itu berada diluar jangkauannya, Allah pun menjelaskan gambaran
fenomena besar tersebut yaitu, Pada hari itu manusia bagai anai-anai yang
bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu-bulu yang dihambur-hamburkan.
Gambaran manusia dengan kata “al-farasy al-mabtsāts” menunjukkan
betapa beasarnya fenomena itu hingga membuat manusia tidak berdaya, terlalu
lemah dan sangat kecil menghadapinya. Bahkan orang yang sudah mati, mereka
semua bangkit dari kuburan masing masing dan terhepaskan, mereka semua
terlempar terpisah-pisah, bertebaran, dan terbentang dimana-mana. Tidak
terkecuali gunung-gunung sebesar apapun pada saat itu tidak lebih dari sekedar
kumpulan bulu-bulu yang bertebaran dan terpecah pecah dimana-mana hanya karena
hempasan angin kecil saja.[11]
Peristiwa
Kiamat bukan hanya sekedar fenomena hancurnya alam, lebih dari itu, peristiwa
yang sangat menakutkan itu juga merupakan perantara atau awal dari perjanjian Tuhan
(yaum al-wa’īd). Dari sini
kemudian, Allah melanjutkan firmannya “Dan adapun orang-orang yang berat
timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan
adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah
neraka hawiyah.” Mereka yang kuantitas amal kebaikan di dunia lebih banyak
dari kuantitas amal jeleknya pada saat ditimbang, ganjaran yang akan didapatkan
adalah hidup dalam kepuasan, bergelimang kenikmatan dan kebahagiaan.
Sebaliknya, orang-orang yang amal baiknya lebih ringan dari amal kejelekannya,
tidak ada tempat berlabuh (ummhū) bagi mereka keculi al-Hawiyah.[12]
Sebagaimana
ayat kedua dari surat ini, Allah bertanya kembali serta menjelaskannya, tahukah
kamu apa Hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas. Fungsi
pertanyaan dan kalimat ini sama dengan ayat kedua di atas, yaitu memberi
tekanan atau perhatian serta agar manusia mawas diri. Jika tidak, alamat yang
akan mereka tuju adalah hawiyah, atau bapi yang memiliki panas tiada tanding,
yang akan menghanguskan segala apa.[13]
Aspek-aspek Balaghah
1.
وَمَا
أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ dan وَمَا
أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ merupakan istifham (kalimat tanya)
yang berfungsi untuk takhfim (memberi perhatian lebih) dan tahwil
(menggelisahkan).[14] Al-Qur’an
dalam mengungkapkan kalimat tanya juga memiliki kesamaan dengan tujuan dasar dari
pertanyaan tersebut, yaitu mencari pemahaman dan mengetahui sesuatu yang tidak
diketahui. Model pertanyaan seperti ini akan banyak ditemukan dalam al-Qur’an,
akan tetapi mayoritas istifhamnya menyalahi asal fitrahnya. Sebab ada maksud
lain yang ingin dicapai atau disampaikan, hal ini dapat dipahami apabila
melihat siyaq al-kalam.[15]
Adapun diantara maksud tersebut adalah tafkhīm dan tahwīl. Maksud
ini tercermin pada ayat yang sudah disebutkan di atas. Indikasinya adalah ayat
tersebut menggambarkan kepada mukhatab tentang ketidakmapuan seseorang dalam mengatasi
fenomena itu sebagaimana orang yang benar-benar dapat perlindungang dari Allah.
Oleh karen itu seseorang yang ingin memahami hal demikian harus jeli dan tidak
tergesa-gesa dalam memahami hakikat pertanyaan itu serta mencari qarinah-qarinahnya
secara seksama.[16]
2.
اَلْقَارِعَةُ،
مَا الْقاَرِعَةُ؟ pada ayat ini Allah menempatkan posisi isim
dhzahir pada posisi isim dhamir. Hal seperti
ini jika ditinjau dari kaidah bahasa tidaklah begitu benar, sebab jika sesuatu
yang dimasudkan sudah disebutkan di awal, tidak perlu lagi menyebutkan untuk
kedua kalinya, ia sudah cukup dipahami dengan cara menggunakan dhamir atau kata
ganti yang kembali pada maksud sebelumnya. Dalam artian menurut kaidah bahasa
untuk ayat kedua ini dapat digambarkan dengan kalimat القارعة،
ما هي؟. Akan tetapi penempatan dhzahir dalam posisi dhamir juga harus
dipahami secara seksama, sebab penggunaan demikian memiliki tujuan untuk
menggetarkan hati manusia serta menakut-nakunya (takhwīf).
3.
يَوْمَ
يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ dalam ayat ini terdapat sisi tasybih,
yaitu tasbih mursal dengan menyebutkan ‘adah al-tasybih, serta tasybih
mujamal dengan membuang wajh al-syibh yang berupa al-katsrah
(banyaknya) dan al-intisyar (terpisah-pisah). aspek balaghi yang seperti
ini juga tampak pada ayat selanjutnya وَتَكُونُ
الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ.
4.
Adanya al-Muqabalah (perbandingan)
dalam ayat فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ، فَهُوَ
فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ dengan ayat وَأَمَّا
مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ، فَأُمُّهُ
هَاوِيَةٌ.
5.
فَهُوَ
فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ merupakan majaz al-‘aqly, dalam
artian pemiliknya ridha terhadap keputusan yang diterima dalam kehidupannya.
[1] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah
al-Tafasir, Dar al-Qur’an (Bairut: 1981), cet. 4, vol. 3, hal. 595
[2] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, Mushthafa al-Bani (Mesir: 1946), cet. 1, vol. 30, hal.225
[9] Abu al-Hasab Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam
Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr, (Bairut: 1979), vol. 2, hal. 269
[11] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir
al-Maraghi, hal.226, dan Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir,
hal. 596
Tidak ada komentar:
Posting Komentar