HUBUNGAN
QIRAAT DENGAN TAFSIR
A.
Latar belakang
Al-Qur’an merupakan kitab suci bagi umat islam, serta
bagaikan lalutan tak bertepi dan tak berdasar bagi seseorang yang berminat
untuk menggali ilmu di dalamnya. Sebagaimana ungkapan ulama’ bahwa “Al-Qur’an
Shalih likulli zaman wa makan”. Pernyataan ini mengindikasikan tentang ketidakadanya
batasan bagi siapa saja yang ingin mengkaji al-Qur’an, dengan cara apa dan
bagaimana saja ia akan mengkajinya, karena al-Qur’an akan selalu eksis dan
relevan dalam setiap zamannya.
Tidak terhitung jumlah orang-orang dan para
sarjana yang telah mengkaji al-Qur’an, baik dari kalangan muslim sendiri maupun
non muslim, apakah dia orang yang baru bergelut dengan al-Qur’an atau yang
telah ahli karena bidangnya. Mereka tidak pernah lelah untuk mengkaji kitab
suci ini dengan berbagai pendekatan, metode, serta berbagai macam teori yang
digunakan dan dihasilkannya. Dan daalam tulisan ini, penulis akan mencoba
menyoroti sisi al-Qur’an dari segi ragam qira’at-nya.
Pada masa rasul, ragam qira’at dikenal hanya
bertujuan agar umat islam di tanah Arab dapat dengan mudah untuk membaca
al-Qur’an. Namun pada era selanjutnya, para ulama tafsir menggunakan cara yang
berbeda dalam memandang qira’at, perbedaan qira’at bukan saja
untuk kemudahan dalam membaca, tetapi merupakan peluang untuk mengkaji
al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Kemudian pertanyaannya, bagaimanakah
seorang mufasir memandang ragam qira’at? Apa kaitan antara qira’at
dengan tafsir?
B.
Sekilas
tentang faktor perbedaan Qiraat
Ada beberapa faktor yang diungkapkan oleh
orientalis Hongaria, Ignaz Golzdiher, berkenaan dengan timbulnya perbedaan qira’at
yaitu, tidak adanya titik dan syakal, serta bentuk huruf atau karakteristik
tulisan arab yang sama[1]
untuk menulis teks al-Qur’an pada zaman rasul. Sebagaimana telah maklum,
pertama kali al-Qur’an ditulis pada zaman nabi terletak pada berbagai macam
sarana yang berupa pelepah kurma, batu, kulit dan sebagainya, sehingga pada satu
abad periode akhir dinasti Abbasiah dengan adanya kemajuan dari negri Cina dalam
bidang tulis menulis menggunakan kertas, pemerintah Abbasiah tidak tinggal diam
untuk memanfaatkan moment tersebut. Pada periode ini juga al-Qur’an
sudah ditulis secara lengkap sebagaiman yang kita kenal saat ini yang meliputi
pemberian titik untuk membedakan antara huruf satu dengan lainnya yang memiliki
bentuk tulisan sama, dan harkat untuk membedakan antara bacaan fathah
dengan huruf vokal “A”, kasrah dengan bunyi huruf vokal “I”, dhammah
dengan bunyi huruf vokal “U”, dan sukun untuk huruf yang mati.[2]
Umat islam dan sarjana muslim khususnya, telah
menyakini perbedaan qiraat ini sifatnya naqli sebagaimana
definisi qira’at itu sendiri. Merujuk kepada hadis dari Ubay Ibn Ka’b,
rasullah menyatakan dalam sabdanya bahwa kaum muslimin di Arab memiliki
kapasitas intelektual yang beraneka ragam, di antara mereka ada yang sudah tua,
anak muda, budak dan sebagainya, sehingga turunnya al-Qur’an dengan satu wajah
saja akan mempersulit mereka. Dari situ kemudian, jibril mengajarkan nabi
Muhammad dengan 7 wajah bacaan al-Qur’an yang dikenal dengan al-ahruf
as-sab’ah (tujuh huruf)[3].
Ibn Qutaibah memberi penafsiran tentang al-ahruf
as-sab’ah dengan tujuh ikhtilaf (perbedaan) [4]
yaitu:
1.
Perbedaan dari segi i’rab
atau harkat bina’ (bentuk kalimat) yang tidak sampai merubah bentuk
tulisan dan makna.
2.
Perbedaan segi i’rab serta
harkat bina’ dengan tanpa merubah bentuk tulisan, namun merubah makna.
3.
Perbedaan huruf dalam suatu kalimah
(kata) dan tidak pada i’rab-nya tanpa mengubah bentuk tulisan, akan
tetapi dapat merubah makna.
4.
Perbedaan dalam kalimah
(kata) yang digunakan sehingga mengubah bentuk tulisan, namun tidak merubah
maknanya.
5.
Perbedaan kalimah (kata)
yang digunakan hingga mengubah bentuk tulisan serta maknanya.
6.
Perbedaan yang disebabkan oleh
posisi taqdim dan ta’khir.
7.
Perbedaan dari segi tambahan dan
pengurangan kalimat.
Perbedaan-perbedaan di atas sudah diajarkan
oleh rasullah kepada para sahabatnya agar dapat mempermudah untuk dibaca. Ada
banyak riwayat hadis yang menerangkan tentang turunnya al-Qur’an dengan tujuh
huruf, yaitu riwayat Ubay ibn Ka’ab, Anas, Hudzaifah ibn al-Yaman, Zaid ibn
Arqam, Samurah ibn Jundub, Sulaiman ibn Surad, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud,
Abdurrahman ibn ‘Auf, Usman ibn Affan, Umar ibn Khattab dan lain-lain[5]. Riwayat
yang terakhir ini banyak dikenal oleh kalangan akdemis. Ketika Umar mendengar
Hisyam ibn Hakim membaca surah al-Furqan pada masa hidup rasulluah, beliau
menyadari adanya perbedaan bacaan al-Qur’an antara Hisyam dengan dirinya,
akhirnya setelah selesai beliau melaporkan kepada rasulullah, kemudian rasullah
memerintahkan kedua-duanya untuk membaca ayat al-Qur’an yang dibaca Hisyam.
Setiap orang dari kedunya selesai membaca, rasullah pun mengatakan tetang
kebenaran bacaan ayat yang dibaca oleh Umar maupun Hisyam, kemudian terakhir
rasullullah mengatakan “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan/atas
tujuh huruf, maka dari itu bacalah huruf mana yang mudah diantara tujuh huruf tersebut”.
C.
Macam-maca
Qira’at dari Segi Maqbul-nya
Ada tiga syarat yang telah disepakati oleh
ulama yang dikatakan oleh iman al-Jazari dan dinukil oleh Jalaluddin as-Suyuthi
dalam al-Itqan tentang diterimanya qiraat, pertama, sanadnya
shahih. Kedua, sesuai dengan salah satu rasm atau mushaf ustmani.
Ketiga, sesuai dengan tata bahasa arab walaupun salah satu wajah saja[6] (masyhur
dalam tata bahasa arab atau tidak terlalu mashur, baik fashih , afshah
mujma’ alaih, atau mukhtalaf fih)[7].
Melihat tiga kreteria ini kemudian as-Suyuthi
membagi qiraat menjadi 6 macam[8],
yaitu:
1.
Qira’at yang mutawatir
2.
Qira’at yang masyhur, sanad sahih tapi tidak sampai derajat mutawatir
serta sesuai dengan rasm ustmani dan tata bahasa arab juga populer
dikalangan ahli qira’at.
3.
Ahad, yaitu sanad
sahih tapi tidak sesuai dengan rasm ustmani atau tata bahasa arab, serta
tidak masyhur dikalangan ulama qira’at.
4.
Syadz, yaitu
sanadnya tidak sahih
5.
Maudhu’, yaitu
disandarkan pada bacaannya seseorang yang tanpa dasar apapun.
6.
Menyerupai macam-macam hadis yang mudraj,
yaitu ada tambahan dalam qiraat tersebut dalam bentuk tafsir. Misalnya, وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْةٌ (مِنْ أُمٍّ)
D.
Antara Qira’at
dan Makna
Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada
nabi Muhammad dalam bentuk teks dapat dikategorikan kepada dua dimensi. Pertama,
dimensi teks itu sendiri (nash), dan kedua, dimensi makna. Dua
dimensi ini tidak dapat dipisahkan, sebab makna merupakan maksud dari lafat
(teks) itu sendiri, sedangkan teks merupakan salah satu sarana untuk
menyampaikan sebuah makna[9].
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at
merupakan bagian dari tafsir[10],
misalnya az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan at-Thabari dalam Jami’
al-Bayan hampir tidak pernah atau boleh jadi tidak pernah melepaskan
pembahsannya mengenai perbedaan qira’at dan hubungannya dengan tafsir. Dari
pemahaman Ibn Qutaibah yang telah dijelaskan di awal tadi berkenaan dengan
makna al-ahruf as-sab’ah dengan makna tujuh ikhtilaf (perbedaan) dalam
membaca al-Qur’an, akan dapat dipahami mengenai
hubungannya antara qira’at dengan tafsir hanya berkisar pada
level makna. Dari pemahaman itu juga dapat diketahui adanya qiraat yang
memiliki implikasi terhadap makna dan ada juga yang tidak[11].
Pertama, Ikhtilaf (perbedaan) qira’at
yang tidak bedampak pada makna misalnya kalimat أن
تمسوهن dalam surat al-Ahzab ayat 49 yang dibaca أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ yang pada qira’at lain dibca أَنْ تُمَاسُّوْهُنَ, dua kalimat yang
berbeda bacaan ini memiliki arti yang sama yaitu sebelmm kamu mencampuri
istrinya atau mnggauli istrinya. Contoh yang lain dalah qira’at yang
perbedaannya terletak pada perbedaan kalimat yang digunakan sehingga mengubah
bentuk tulisannya secara total tanpa mengubah maknanya yaitu surat Yasin ayat
29 pada kalimat أن كانت إلا صَيْحَةً,
pada qira’at yang lain kalimah (kata) إلا
صَيْحَةً dibaca dengan إلا زَقْيَةً
yang keduanya sama-sama memiliki arti teriakan.
Kedua, Ikhtilaf qira’at yang
memiliki pengaruh terhadap perubahan makna misalanya kalimat وظنوا أنهم قد كذبوا. Lafat كذبوا di sini dapat dibaca dengan dua variasi
bacaan yaitu dengan men-tasydid-kan “Dzal” bisa juga dengan men-takhfif-kan
“Dzal”. Pada saat “Dzal” tersebut di-tasydid-kan akan bermakna “para
rasul itu telah yakin bahwa kaumnya telah mendustakan mereka (para rasul)”,
sedangkan apabila “Dzal” tersebut dibaca dengan takhfif akan bermakna
“orang yang diutus (mursal) kepada mereka itu ragu bahwa para rasul
telah bohong terhadap mereka”[12].
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan
tentang bagaimana kaitan antara perbedaan qira’at dengan tafsir, dengan
demikian penulis tidak akan membahas bagian yang petama mengenai qira’at
yang tidak berpengaruh terhadap makna. Penulis hanya akan menjelaskan tentang
pengaruh qira’at terhadap makna saja.
Tidak terlalu banyak para sarjana yang membahasa
pengaruh qira’at ini terhadap makna. Pembahasan mereka tentang hal ini
dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu pengaruh qira’at
terhadap tafsir dan pengaruh qira’at terhadap fikih. Dalam dua pengaruh
ini (tafsir dan fikih) sebenarnya dapat dikatakan hampir sama, sebab
bagaimanapun juga ketika sebuah karakter tafsir dilihat dari segi coraknya di
dalamnya juga akan ditemukan berbagai macam corak yang salah satunya adalah
tafsir corak fikih sekaligus membahas segi-segi qira’atnya, misalanya Ahkam
al-Qur’an karya ibn Ali al-Razi al-Jashshash[13].
Dari sini kemudian perlu kita membedakan
antara karakter pengaruh qira’at terhadap fikih serta pengaruhnya
terhadap tafsir, sebab ketika fikih dihubungkan dengan teks al-Qur’an tidak
akan lepas dari sebuah penafsiran. Perbedaan mencolok yang penulis dapat dari
dua objek formal tersebut adalah pada wilayah fikih, qira’at akan
berpengaruh terhadap istimbat al-ahkam (proses penggalian hukum)) serta
penetapan hukumnya, dan dalam hal ini seringkali akan terjadi ketidakkonsistenan
dalam menetapkan qira’at mana yang paling pas untuk penetapan hukum,
sebab bisa saja qira’at yang masyhurah lebih diutamakan dari pada
yang mutawatirah, meskipun hasil
dari perbedaan tersebut tidak selalu terlalu signifikan. Sedangkan pada wilayah
tafsir, qira’at lebih berpengaruh pada dimensi hermeniutisnya, dalam
artian bagaimana seorang mufasir dapat mendiskripsikan makna-makna dari
berbagai macam qira’at serta men-tarjih-nya.
E.
Qira’at dan Tafsir
Pengaruh qira’at terhadap tafsir sangat
banyak sekali dilahat dari macam-macam kitab tafsir. Hal ini tergantung pada
titik tekan serta tujuan para mufassir tersebut dalam sebuah karyanya.
Diantara para mufassir ada yang menfokuskan kajian tafsirnya pada sisi hukum,
seperti yang dilakukan oleh Ibn Arabi, al-Qurthubi, dan al-Jashshash. Kemudian mufasir
yang menitik beratkan pada sisi bahasanya, misalnya tafsir Abu Hayyan dan
as-Saud, dan ada pula yang mencakup pada banyak segi dari bahasa, makna, dan
hukum sekaligus, dan lain sebagianya. Para mufassir menyadari adanya
variasi qira’at akan memberikan makna baru dalam penafsiran, baik qira’at
tersebut mutawatir maupun syadz. Hingga dikatakan إن كل قراءة أية مستقلة من حيث دلالتها على المعنى.[14]
1.
Posisisi
Mufasir dalam Qira’at
Secara garis besar qira’at dapat
dibedakan pada mutawatir dan syadzah. Para mufasir dalam
memposisikan diri dalam qira’at ini dapat dikatakan beraneka ragam.
Dalam qira’at mutawatirah diantara mereka ada yang bersifat loyal, ada
yang mengunggulkannya serta ada pula menolaknya. Sedangakan untuk qira’at
syadzah ini berbeda lagi, mereka bersikap antara mendukung dan
menolaknya.[15]
2.
Pengaruh
Qira’at dalam Penafsiran
Dalam hal ini akan dijabarkan sebagian contoh
mengenai pengaruh qira’at terhadap penafsiran, diantaranya:
a.
Firman Allah SWT. Dalam surat
al-Isra’ ayat 16 وإذا أردنا أن نهلك قرية أمرنا مترفيها
ففسقوا فيها فحق عليها القول فدمرناها تدميرا
Artinya: dan jika kami hendak
membinasakan suatu negri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup
mewah di negri itu (agar menaati Allah), tetapi bila merek amelakukan
kedurhakaan di dalam (negri) itu, maka berlakulah terhadapnya perkataan (hukuman kami),
kemudian kami binasakan sama sekali (negeri itu)[16].
Abu bakar ibn Arabi dalam ayat ini menjelaskan
beberapa makna terkait dengan variasi qira’at pada lafat أمرنا. Ia menjelaskn kalimat ini memiliki tiga
macam bacaan yaitu, dengan tasydid أَمَرْنَا,
takhfif أَمَّرْنَا, dan dengan membaca mad
setelah hamzah dan men-takhfif-kannya آمَرْنَا.
Dengan qira’at ini, Abu Bakar Ibn Arabi
menfungsikan variasi qira’at untuk menambah kekayaan makna. Qira’at
yang pertama merupakan qira’at yang masyhur, maknanya adalah
“Kami memerintahkan mereka untuk berbuat adil, kemudian kalau mereka
menyalahinya dan berbuat fasik atas qadha’ dan qadar Allah, maka
mereka akan binasa dengan ketetapan hukuman kami dengan datangnya bencana atas
mereka”. Qira’at yang kedua merupakan bacaan Ali, Abu al-‘Aliyah, Abu
‘Amr, dan Abu Ustman al-Nahdi, dan maknanya “kami memperbanyak mereka”.
Sedangkan qira’at yang ketiga adalah bacaannya al-Hasan, al-A’raj, dan
Khrijah dari Nafi’ yang artinya “kami menjadikan mereka pemerintah (umara’)”.[17]
b.
Firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 165: ولو يرى الذين ظلموا إذيرون العذاب أن القوت
لله جميعا، وأن الله شديد العذاب[18]
Artinya: .... Dan jika
seandainya orang-orang yang berbuat dzalim
itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahawa
kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah sangat berat siksa-Nya
(nisacaya mereka akan menyesal)[19].
Ibn Athiyah menyebutkan dalam al-Muharrar
al-Wajiz[20],
bahwa Nafi’ dan Ibn Amir membaca “"ولو ترى
الذين ظلموا dengan menggunakan huruf mudhara’ah “ta’” dan أن dengan dibaca fathah pada Alif-nya,
demikian pula أن yang kedua dengan di-athaf-kan
pada yang pertama. Taqdir (perkiraan) kalimat yang disimpan adalah ولو ترى يا محمد الذين ظلموا في حال رؤيتهم للعذاب وفزعهم منه
واستعظامهم له لأقروا أن القوة لله, maknaya adalah jawab
yang tersimpan dalam contoh ini yaitu ‘amil pada أن.
Pen-taqdir-an yang lain adalah ولو ترى يا محمد الذين ظلموا في حال رؤيتهم للعذاب وفزعهم منه
واستعظامهم له لعلمت أن القوة لله جميعا. Dengan jawaban
menggunakan kalimat لعلمت bukan berarti nabi
muhammad tidak mengetahui al-quwwah lillah, tetapi kalimat tersebut
ditunujukkan untuk ummatnya, sebab ada di anatara mereka yang butuh diperkuat
dalam pengetahuannya. Sedangkan bentuk taqdir yang ketiga adalah ولو ترى يا محمد الذين ظلموا في حال رؤيتهم للعذاب لأن القوة
لله لعلمت مبلغهم من النكال ولاستعظمت ما حل بهم. “Lam” yang tersimpan
sebelum أن merupakan maf’ul min ajlih,
sedangkan jawab yang dibuang di-taqdir berada setelah أن dan ma’mul-nya.
Al-Hasan, Qatadah, Syaibah, dan Abu Ja’far
juga membanya dengan “ولو ترى الذين
ظلموا”, hanya saja hamzah pada إن
dibaca dengan menggunakan syakal kasrah. Adapun takdir-nya adalah ولو ترى الذين ظلموا إذ يرون العذاب يقولون إن القوة لله جميعا
لاستعظمت حالهم. Sedangkan Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr, ‘Ashim, dan Ibn Kastir
membacanya dengan يرى serta fathah pada
hamzahnya أن. Taqdir adalah ولو يرى في الدنيا الذين ظلموا حالهم في الأخرة إذ يرون العذاب لعلموا أن
القوة لله جميعا. Ibn Athiyah juga mengutip untuk taqdir bacaan ayat yang
terakhir dari al-Mubarrad dan al-Akhfasy yaitu, ولو
يرى dengan makna بعلم الذين ظلموا إذ يرون
العذاب أن القوة لله جميعا لاستعظموا ما حل بهم. Kalimat يرى menjadi ‘amilnya أن,
dan أن mengganti posisinya dua maf’ul bih.
Dari pemaparan di atas tampak bagaimana Ibn
‘Athiyah mencoba menjelaskan makna-makna ayat tersebut dengan melalui salah
satu proses analisis tata bahasa (Grammar) dengan memanfaatkan adanya
perbedaan qira’at. Seolah-olah dengan cara tersebut beliau juga ingin
menjelaskan sinkronisasi makna dari ragam bacaan tersebut, dan meskipun terdapat
perbedaan tetapi tidak terlalu berjauhan bahkan saling mendukung.
F.
Kesimpulan
Pembahsan singkat di atas membuktikan adanya
keterkaitan yang sangat erat antara perbedaan qira’at dengan tafsir.
Sebab tafsir merupakan pruduk penjabaran makna dari teks itu sendiri, dalam
artian bilamana teks memiliki perbedaan dalam memnyampaikan sebuah maksud, maka
makna yang akan ditangkap pun akan berbeda, walaupun perbedaan tersebut tidak
selalu terlalu signifikan. Dalam istimbat al-ahkam perbedaan hanya
terjadi pada masalah furu’iyah tanpa mengubah prinsip dasarnya. Misalnya
perbedaan yang terjadi pada ayat batalnya wudlu’ ketika menyentuh kulit
perempuan.
Dengan demikian, fenomena ragam qira’at
tidak hanya berdampak pada kemudahan membaca al-Qur’an bagi muslim Arab zaman
nabi dahulu. Ragam qira’at merupakan hal yang patut untuk diteliti dan
diperhatikan menurut ulama tafsir baik dalam menemukan makna baru atau untuk
menetapkan hujjah-nya, atau bahkan untuk memperkuat antara makna dari
bacaan yang satu dengan yang lainnya, sebab seringkali perbedaan qira’at
mempertegas makna yang dimaksud. Sehingga ragam qira’at merupakan salah satu
dari ke-i’jaz-an al-Qur’an dari segi teks amupun phonem-nya.
DAFTAR
PUSTAKA:
Agama,
Depertemen. Al-Qur’an dan Terjemahnya
Abu Muhammad
Abdi al-Haq ibn Ghalib ibn ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab
al-‘Aziz (Bairut: Dar al-Ilmiyah, 2001), cet. I
Abu Bakar Ibn
‘Arabi, Ahkam al-Qur’an (Bairut: Dar al-Kutub, 2003), cet. III
Ali, Yasir
Atiq Muhammad. Ad-Dalalah as-Siyaqiyah wanadhzairuha inda al-Ushuliyyin wa
Ahmiyatuha fi Fahmi Maqshud al-Khithab (Aden: al-Jamiah Aden, 2012), Jurnal,
edisi. XXXV
Ignaz
Golzdiher, Madzahib at-Tafsir, trj. Abd al-Halim al-Najjar (Cairo:
Maktabah al-Khatiji, Baghdad:Maktabah
al-Mastina, 1955)
Ismail, Nabil
ibn Muhammad Ibrahim al-. Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu
fi al-‘Ulum asy-Syar’yah (Saudi Arabiya: Maktabah at-Taubah, 2000), cet. I
Jashshash, Abu
Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-Razi al-. Ahkam al-Qur’an (Bairut: Dar al-Haya’,
1992)
Khatib, Ahamad
Sa’ad al- Al-Ma’na al-Qur’an fi Dhaui Ikhtilaf al-Qira’at (Cairo:
Syabkah Tafsir wa Dirasah al-Qur’aniyat, 1425 H ), word
McAuliffe, Janne
Dammen. Encyclopaedia of The Qur’an (Leiden: Brill, 2001)
Salum, Ahmad
ibn Faris as-. ‘Alaqah al-Qira’at bi ‘Ilmai al-Lughah wa at-Tafsir,
video, http/www.youtube.com, download: 10 Mei 2014 M.
Suyuthi, Jalal
al-Din Abdu ar-Rahman ibn Abi Bakr al-. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an
(Saudi Arabia: Al-Mamlakah al-‘Arabiyah, tth), vol. I
Syahin, Abdu
al-Shabur. Tarikh Al-Qur’an (Cairo: Nahdhah Mishr, 2007), cet. III
[1] Ignaz Golzdiher, Madzahib at-Tafsir, trj.
Abd al-Halim al-Najjar (Cairo: Maktabah al-Khatiji, Baghdad:Maktabah al-Mastina, 1955), hal. 7
[5] Jalal al-Din Abdu ar-Rahman ibn Abi Bakr
as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Saudi Arabia: Al-Mamlakah
al-‘Arabiyah, tth), vol. I, hal. 306
[7] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu
al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah
(Saudi Arabiya: Maktabah at-Taubah, 2000), cet. I, hal. 38
[9] Jurnal: Yasir Atiq Muhammad Ali, Ad-Dalalah
as-Siyaqiyah wanadhzairuha inda al-Ushuliyyin wa Ahmiyatuha fi Fahmi Maqshud
al-Khithab (jamiah Aden, 2012), edisi. XXXV, hal. 208.
[10] Ahmad ibn Faris as-Salum, ‘Alaqah
al-Qira’at bi ‘Ilmai al-Lughah wa at-Tafsir, video, http/www.youtube.com,
download: 10 Mei 2014 M.
[11] Ahamad Sa’ad al-Khatib, Al-Ma’na al-Qur’an
fi Dhaui Ikhtilaf al-Qira’at (Cairo: Syabkah Tafsir wa Dirasah
al-Qur’aniyat, 1425 H ), word, hal. 31
[13] Dalam kitab tafsir ini pada Bab al-Aiman,
al-Jashshash membahas tentang kalimat بما عقدتم
الأيمان dari sisi perbedaan
qira’at. Ia mengatakan kalimat عقدتم dapat dibaca dengan tiga bacaan, yaitu
dengan tasydid
"عَقَّدْتُم"ْ,
dengan takhfif "عَقَدْتُمْ", dan dengan dengan wazan mufa’alah "عَاقَدْتُمْ" untuk menjabarkan tentang sumpah-sumpah
yang dapat diterima. [Lihat: Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-Razi al-Jashshash, Ahkam
al-Qur’an (Bairut: Dar al-Haya’, 1992), vol. IV, hal. 113]
[14] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu
al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal.
356
[15] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu
al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal.
330
[17] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu
al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal.
358. Lihat juga: Abu Bakar Ibn ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an (Bairut: Dar
al-Kutub, 2003), cet. III, vol. III, hal. 182
[18] Awal ayat: ومن الناس
من يتخذ من دون الله أندادا يحبونهم كحب الله، والذين أمنوا أشد حبا لله ....., “dan di antara manusia ada yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah.
[20] Abu Muhammad Abdi al-Haq ibn Ghalib ibn
‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Bairut: Dar
al-Ilmiyah, 2001), cet. I, vol. I, hal. 235. Merujuk dari: Nabil ibn Muhammad
Ibrahim al-Ismail, Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi
al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal. 358
Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi Hutan
BalasHapus