Minggu, 13 Desember 2015

Relasi Qira'at Dengan Tafsir

HUBUNGAN QIRAAT DENGAN TAFSIR
A.    Latar belakang
Al-Qur’an  merupakan kitab suci bagi umat islam, serta bagaikan lalutan tak bertepi dan tak berdasar bagi seseorang yang berminat untuk menggali ilmu di dalamnya. Sebagaimana ungkapan ulama’ bahwa “Al-Qur’an Shalih likulli zaman wa makan”. Pernyataan ini mengindikasikan tentang ketidakadanya batasan bagi siapa saja yang ingin mengkaji al-Qur’an, dengan cara apa dan bagaimana saja ia akan mengkajinya, karena al-Qur’an akan selalu eksis dan relevan dalam setiap zamannya.
Tidak terhitung jumlah orang-orang dan para sarjana yang telah mengkaji al-Qur’an, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non muslim, apakah dia orang yang baru bergelut dengan al-Qur’an atau yang telah ahli karena bidangnya. Mereka tidak pernah lelah untuk mengkaji kitab suci ini dengan berbagai pendekatan, metode, serta berbagai macam teori yang digunakan dan dihasilkannya. Dan daalam tulisan ini, penulis akan mencoba menyoroti sisi al-Qur’an dari segi ragam qira’at-nya.
Pada masa rasul, ragam qira’at dikenal hanya bertujuan agar umat islam di tanah Arab dapat dengan mudah untuk membaca al-Qur’an. Namun pada era selanjutnya, para ulama tafsir menggunakan cara yang berbeda dalam memandang qira’at, perbedaan qira’at bukan saja untuk kemudahan dalam membaca, tetapi merupakan peluang untuk mengkaji al-Qur’an dengan cara yang berbeda. Kemudian pertanyaannya, bagaimanakah seorang mufasir memandang ragam qira’at? Apa kaitan antara qira’at dengan tafsir?
B.     Sekilas tentang faktor perbedaan Qiraat
Ada beberapa faktor yang diungkapkan oleh orientalis Hongaria, Ignaz Golzdiher, berkenaan dengan timbulnya perbedaan qira’at yaitu, tidak adanya titik dan syakal, serta bentuk huruf atau karakteristik tulisan arab yang sama[1] untuk menulis teks al-Qur’an pada zaman rasul. Sebagaimana telah maklum, pertama kali al-Qur’an ditulis pada zaman nabi terletak pada berbagai macam sarana yang berupa pelepah kurma, batu, kulit dan sebagainya, sehingga pada satu abad periode akhir dinasti Abbasiah dengan adanya kemajuan dari negri Cina dalam bidang tulis menulis menggunakan kertas, pemerintah Abbasiah tidak tinggal diam untuk memanfaatkan moment tersebut. Pada periode ini juga al-Qur’an sudah ditulis secara lengkap sebagaiman yang kita kenal saat ini yang meliputi pemberian titik untuk membedakan antara huruf satu dengan lainnya yang memiliki bentuk tulisan sama, dan harkat untuk membedakan antara bacaan fathah dengan huruf vokal “A”, kasrah dengan bunyi huruf vokal “I”, dhammah dengan bunyi huruf vokal “U”, dan sukun untuk huruf yang mati.[2]
Umat islam dan sarjana muslim khususnya, telah menyakini perbedaan qiraat ini sifatnya naqli sebagaimana definisi qira’at itu sendiri. Merujuk kepada hadis dari Ubay Ibn Ka’b, rasullah menyatakan dalam sabdanya bahwa kaum muslimin di Arab memiliki kapasitas intelektual yang beraneka ragam, di antara mereka ada yang sudah tua, anak muda, budak dan sebagainya, sehingga turunnya al-Qur’an dengan satu wajah saja akan mempersulit mereka. Dari situ kemudian, jibril mengajarkan nabi Muhammad dengan 7 wajah bacaan al-Qur’an yang dikenal dengan al-ahruf as-sab’ah (tujuh huruf)[3].
Ibn Qutaibah memberi penafsiran tentang al-ahruf as-sab’ah dengan tujuh ikhtilaf (perbedaan) [4] yaitu:
1.      Perbedaan dari segi i’rab atau harkat bina’ (bentuk kalimat) yang tidak sampai merubah bentuk tulisan dan makna.
2.      Perbedaan segi i’rab serta harkat bina’ dengan tanpa merubah bentuk tulisan, namun merubah makna.
3.      Perbedaan huruf dalam suatu kalimah (kata) dan tidak pada i’rab-nya tanpa mengubah bentuk tulisan, akan tetapi dapat merubah makna.
4.      Perbedaan dalam kalimah (kata) yang digunakan sehingga mengubah bentuk tulisan, namun tidak merubah maknanya.
5.      Perbedaan kalimah (kata) yang digunakan hingga mengubah bentuk tulisan serta maknanya.
6.      Perbedaan yang disebabkan oleh posisi taqdim dan ta’khir.
7.      Perbedaan dari segi tambahan dan pengurangan kalimat.
Perbedaan-perbedaan di atas sudah diajarkan oleh rasullah kepada para sahabatnya agar dapat mempermudah untuk dibaca. Ada banyak riwayat hadis yang menerangkan tentang turunnya al-Qur’an dengan tujuh huruf, yaitu riwayat Ubay ibn Ka’ab, Anas, Hudzaifah ibn al-Yaman, Zaid ibn Arqam, Samurah ibn Jundub, Sulaiman ibn Surad, Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Abdurrahman ibn ‘Auf, Usman ibn Affan, Umar ibn Khattab dan lain-lain[5]. Riwayat yang terakhir ini banyak dikenal oleh kalangan akdemis. Ketika Umar mendengar Hisyam ibn Hakim membaca surah al-Furqan pada masa hidup rasulluah, beliau menyadari adanya perbedaan bacaan al-Qur’an antara Hisyam dengan dirinya, akhirnya setelah selesai beliau melaporkan kepada rasulullah, kemudian rasullah memerintahkan kedua-duanya untuk membaca ayat al-Qur’an yang dibaca Hisyam. Setiap orang dari kedunya selesai membaca, rasullah pun mengatakan tetang kebenaran bacaan ayat yang dibaca oleh Umar maupun Hisyam, kemudian terakhir rasullullah mengatakan “Sesungguhnya al-Qur’an ini diturunkan dengan/atas tujuh huruf, maka dari itu bacalah huruf mana yang mudah diantara tujuh huruf tersebut”.

C.       Macam-maca Qira’at dari Segi Maqbul-nya
Ada tiga syarat yang telah disepakati oleh ulama yang dikatakan oleh iman al-Jazari dan dinukil oleh Jalaluddin as-Suyuthi dalam al-Itqan tentang diterimanya qiraat, pertama, sanadnya shahih. Kedua, sesuai dengan salah satu rasm atau mushaf ustmani. Ketiga, sesuai dengan tata bahasa arab walaupun salah satu wajah saja[6] (masyhur dalam tata bahasa arab atau tidak terlalu mashur, baik fashih , afshah mujma’ alaih, atau mukhtalaf fih)[7].
Melihat tiga kreteria ini kemudian as-Suyuthi membagi qiraat menjadi 6 macam[8], yaitu:
1.      Qira’at yang mutawatir
2.      Qira’at yang masyhur, sanad sahih tapi tidak sampai derajat mutawatir serta sesuai dengan rasm ustmani dan tata bahasa arab juga populer dikalangan ahli qira’at.
3.      Ahad, yaitu sanad sahih tapi tidak sesuai dengan rasm ustmani atau tata bahasa arab, serta tidak masyhur dikalangan ulama qira’at.
4.      Syadz, yaitu sanadnya tidak sahih
5.      Maudhu’, yaitu disandarkan pada bacaannya seseorang yang tanpa dasar apapun.
6.      Menyerupai macam-macam hadis yang mudraj, yaitu ada tambahan dalam qiraat tersebut dalam bentuk tafsir. Misalnya, وَلَهُ أَخٌ أَوْ أُخْةٌ (مِنْ أُمٍّ)

D.       Antara Qira’at dan Makna
Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan kepada nabi Muhammad dalam bentuk teks dapat dikategorikan kepada dua dimensi. Pertama, dimensi teks itu sendiri (nash), dan kedua, dimensi makna. Dua dimensi ini tidak dapat dipisahkan, sebab makna merupakan maksud dari lafat (teks) itu sendiri, sedangkan teks merupakan salah satu sarana untuk menyampaikan sebuah makna[9].
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at merupakan bagian dari tafsir[10], misalnya az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan at-Thabari dalam Jami’ al-Bayan hampir tidak pernah atau boleh jadi tidak pernah melepaskan pembahsannya mengenai perbedaan qira’at dan hubungannya dengan tafsir. Dari pemahaman Ibn Qutaibah yang telah dijelaskan di awal tadi berkenaan dengan makna al-ahruf as-sab’ah dengan makna  tujuh ikhtilaf (perbedaan) dalam membaca al-Qur’an, akan dapat dipahami mengenai  hubungannya antara qira’at dengan tafsir hanya berkisar pada level makna. Dari pemahaman itu juga dapat diketahui adanya qiraat yang memiliki implikasi terhadap makna dan ada juga yang tidak[11].
Pertama, Ikhtilaf (perbedaan) qira’at yang tidak bedampak pada makna misalnya kalimat أن تمسوهن dalam surat al-Ahzab ayat 49 yang dibaca أَنْ تَمَسُّوْهُنَّ yang pada qira’at lain dibca أَنْ تُمَاسُّوْهُنَ, dua kalimat yang berbeda bacaan ini memiliki arti yang sama yaitu sebelmm kamu mencampuri istrinya atau mnggauli istrinya. Contoh yang lain dalah qira’at yang perbedaannya terletak pada perbedaan kalimat yang digunakan sehingga mengubah bentuk tulisannya secara total tanpa mengubah maknanya yaitu surat Yasin ayat 29 pada kalimat أن كانت إلا صَيْحَةً, pada qira’at yang lain kalimah (kata) إلا صَيْحَةً dibaca dengan إلا زَقْيَةً yang keduanya sama-sama memiliki arti teriakan.
Kedua, Ikhtilaf qira’at yang memiliki pengaruh terhadap perubahan makna misalanya kalimat وظنوا أنهم قد كذبوا. Lafat كذبوا  di sini dapat dibaca dengan dua variasi bacaan yaitu dengan men-tasydid-kan “Dzal” bisa juga dengan men-takhfif-kan “Dzal”. Pada saat “Dzal” tersebut di-tasydid-kan akan bermakna “para rasul itu telah yakin bahwa kaumnya telah mendustakan mereka (para rasul)”, sedangkan apabila “Dzal” tersebut dibaca dengan takhfif akan bermakna “orang yang diutus (mursal) kepada mereka itu ragu bahwa para rasul telah bohong terhadap mereka”[12].
Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan tentang bagaimana kaitan antara perbedaan qira’at dengan tafsir, dengan demikian penulis tidak akan membahas bagian yang petama mengenai qira’at yang tidak berpengaruh terhadap makna. Penulis hanya akan menjelaskan tentang pengaruh qira’at terhadap makna saja.
Tidak terlalu banyak para sarjana yang membahasa pengaruh qira’at ini terhadap makna. Pembahasan mereka tentang hal ini dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu pengaruh qira’at terhadap tafsir dan pengaruh qira’at terhadap fikih. Dalam dua pengaruh ini (tafsir dan fikih) sebenarnya dapat dikatakan hampir sama, sebab bagaimanapun juga ketika sebuah karakter tafsir dilihat dari segi coraknya di dalamnya juga akan ditemukan berbagai macam corak yang salah satunya adalah tafsir corak fikih sekaligus membahas segi-segi qira’atnya, misalanya Ahkam al-Qur’an karya ibn Ali al-Razi al-Jashshash[13].
Dari sini kemudian perlu kita membedakan antara karakter pengaruh qira’at terhadap fikih serta pengaruhnya terhadap tafsir, sebab ketika fikih dihubungkan dengan teks al-Qur’an tidak akan lepas dari sebuah penafsiran. Perbedaan mencolok yang penulis dapat dari dua objek formal tersebut adalah pada wilayah fikih, qira’at akan berpengaruh terhadap istimbat al-ahkam (proses penggalian hukum)) serta penetapan hukumnya, dan dalam hal ini seringkali akan terjadi ketidakkonsistenan dalam menetapkan qira’at mana yang paling pas untuk penetapan hukum, sebab bisa saja qira’at yang masyhurah lebih diutamakan dari pada yang mutawatirah, meskipun hasil dari perbedaan tersebut tidak selalu terlalu signifikan. Sedangkan pada wilayah tafsir, qira’at lebih berpengaruh pada dimensi hermeniutisnya, dalam artian bagaimana seorang mufasir dapat mendiskripsikan makna-makna dari berbagai macam qira’at serta men-tarjih-nya.

E.       Qira’at dan Tafsir
Pengaruh qira’at terhadap tafsir sangat banyak sekali dilahat dari macam-macam kitab tafsir. Hal ini tergantung pada titik tekan serta tujuan para mufassir tersebut dalam sebuah karyanya. Diantara para mufassir ada yang menfokuskan kajian tafsirnya pada sisi hukum, seperti yang dilakukan oleh Ibn Arabi, al-Qurthubi, dan al-Jashshash. Kemudian mufasir yang menitik beratkan pada sisi bahasanya, misalnya tafsir Abu Hayyan dan as-Saud, dan ada pula yang mencakup pada banyak segi dari bahasa, makna, dan hukum sekaligus, dan lain sebagianya. Para mufassir menyadari adanya variasi qira’at akan memberikan makna baru dalam penafsiran, baik qira’at tersebut mutawatir maupun syadz. Hingga dikatakan إن كل قراءة أية مستقلة من حيث دلالتها على المعنى.[14]
1.      Posisisi Mufasir dalam Qira’at
Secara garis besar qira’at dapat dibedakan pada mutawatir dan syadzah. Para mufasir dalam memposisikan diri dalam qira’at ini dapat dikatakan beraneka ragam. Dalam qira’at mutawatirah diantara mereka ada yang bersifat loyal, ada yang mengunggulkannya serta ada pula menolaknya. Sedangakan untuk qira’at syadzah ini berbeda lagi, mereka bersikap antara mendukung dan menolaknya.[15]
2.      Pengaruh Qira’at dalam Penafsiran
Dalam hal ini akan dijabarkan sebagian contoh mengenai pengaruh qira’at terhadap penafsiran, diantaranya:
a.       Firman Allah SWT. Dalam surat al-Isra’ ayat 16 وإذا أردنا أن نهلك قرية أمرنا مترفيها ففسقوا فيها فحق عليها القول فدمرناها تدميرا
Artinya: dan jika kami hendak membinasakan suatu negri, maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negri itu (agar menaati Allah), tetapi bila merek amelakukan kedurhakaan di dalam (negri) itu, maka berlakulah  terhadapnya perkataan (hukuman kami), kemudian kami binasakan sama sekali (negeri itu)[16].
Abu bakar ibn Arabi dalam ayat ini menjelaskan beberapa makna terkait dengan variasi qira’at pada lafat أمرنا. Ia menjelaskn kalimat ini memiliki tiga macam bacaan yaitu, dengan tasydid أَمَرْنَا, takhfif أَمَّرْنَا, dan dengan membaca mad setelah hamzah dan men-takhfif-kannya آمَرْنَا.
Dengan qira’at ini, Abu Bakar Ibn Arabi menfungsikan variasi qira’at untuk menambah kekayaan makna. Qira’at yang pertama merupakan qira’at yang masyhur, maknanya adalah “Kami memerintahkan mereka untuk berbuat adil, kemudian kalau mereka menyalahinya dan berbuat fasik atas qadha’ dan qadar Allah, maka mereka akan binasa dengan ketetapan hukuman kami dengan datangnya bencana atas mereka”. Qira’at yang kedua merupakan bacaan Ali, Abu al-‘Aliyah, Abu ‘Amr, dan Abu Ustman al-Nahdi, dan maknanya “kami memperbanyak mereka”. Sedangkan qira’at yang ketiga adalah bacaannya al-Hasan, al-A’raj, dan Khrijah dari Nafi’ yang artinya “kami menjadikan mereka pemerintah (umara’)”.[17]
b.      Firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 165: ولو يرى الذين ظلموا إذيرون العذاب أن القوت لله جميعا، وأن الله شديد العذاب[18]
Artinya: .... Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat dzalim  itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahawa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah sangat berat siksa-Nya (nisacaya mereka akan menyesal)[19].
Ibn Athiyah menyebutkan dalam al-Muharrar al-Wajiz[20], bahwa Nafi’ dan Ibn Amir membaca “"ولو ترى الذين ظلموا dengan menggunakan huruf mudhara’ahta’” dan أن dengan dibaca fathah pada Alif-nya, demikian pula أن yang kedua dengan di-athaf-kan pada yang pertama. Taqdir (perkiraan) kalimat yang disimpan adalah ولو ترى يا محمد الذين ظلموا في حال رؤيتهم للعذاب وفزعهم منه واستعظامهم له لأقروا أن القوة لله, maknaya adalah jawab yang tersimpan dalam contoh ini yaitu ‘amil pada أن.
Pen-taqdir-an yang lain adalah ولو ترى يا محمد الذين ظلموا في حال رؤيتهم للعذاب وفزعهم منه واستعظامهم له لعلمت أن القوة لله جميعا. Dengan jawaban menggunakan kalimat لعلمت bukan berarti nabi muhammad tidak mengetahui al-quwwah lillah, tetapi kalimat tersebut ditunujukkan untuk ummatnya, sebab ada di anatara mereka yang butuh diperkuat dalam pengetahuannya. Sedangkan bentuk taqdir yang ketiga adalah ولو ترى يا محمد الذين ظلموا في حال رؤيتهم للعذاب لأن القوة لله لعلمت مبلغهم من النكال ولاستعظمت ما حل بهم. “Lam” yang tersimpan sebelum أن merupakan maf’ul min ajlih, sedangkan jawab yang dibuang di-taqdir berada setelah أن dan ma’mul-nya.
Al-Hasan, Qatadah, Syaibah, dan Abu Ja’far juga membanya dengan “ولو ترى الذين ظلموا”, hanya saja hamzah pada إن dibaca dengan menggunakan syakal kasrah. Adapun takdir-nya adalah ولو ترى الذين ظلموا إذ يرون العذاب يقولون إن القوة لله جميعا لاستعظمت حالهم. Sedangkan Hamzah, al-Kisa’i, Abu ‘Amr, ‘Ashim, dan Ibn Kastir membacanya dengan يرى serta fathah pada hamzahnya أن. Taqdir adalah ولو يرى في الدنيا الذين ظلموا حالهم في الأخرة إذ يرون العذاب لعلموا أن القوة لله جميعا. Ibn Athiyah juga mengutip untuk taqdir bacaan ayat yang terakhir dari al-Mubarrad dan al-Akhfasy yaitu, ولو يرى dengan makna بعلم الذين ظلموا إذ يرون العذاب أن القوة لله جميعا لاستعظموا ما حل بهم. Kalimat يرى menjadi ‘amilnya أن, dan أن mengganti posisinya dua maf’ul bih.
Dari pemaparan di atas tampak bagaimana Ibn ‘Athiyah mencoba menjelaskan makna-makna ayat tersebut dengan melalui salah satu proses analisis tata bahasa (Grammar) dengan memanfaatkan adanya perbedaan qira’at. Seolah-olah dengan cara tersebut beliau juga ingin menjelaskan sinkronisasi makna dari ragam bacaan tersebut, dan meskipun terdapat perbedaan tetapi tidak terlalu berjauhan bahkan saling mendukung.

F.     Kesimpulan
Pembahsan singkat di atas membuktikan adanya keterkaitan yang sangat erat antara perbedaan qira’at dengan tafsir. Sebab tafsir merupakan pruduk penjabaran makna dari teks itu sendiri, dalam artian bilamana teks memiliki perbedaan dalam memnyampaikan sebuah maksud, maka makna yang akan ditangkap pun akan berbeda, walaupun perbedaan tersebut tidak selalu terlalu signifikan. Dalam istimbat al-ahkam perbedaan hanya terjadi pada masalah furu’iyah tanpa mengubah prinsip dasarnya. Misalnya perbedaan yang terjadi pada ayat batalnya wudlu’ ketika menyentuh kulit perempuan.
Dengan demikian, fenomena ragam qira’at tidak hanya berdampak pada kemudahan membaca al-Qur’an bagi muslim Arab zaman nabi dahulu. Ragam qira’at merupakan hal yang patut untuk diteliti dan diperhatikan menurut ulama tafsir baik dalam menemukan makna baru atau untuk menetapkan hujjah-nya, atau bahkan untuk memperkuat antara makna dari bacaan yang satu dengan yang lainnya, sebab seringkali perbedaan qira’at mempertegas makna yang dimaksud. Sehingga ragam qira’at merupakan salah satu dari ke-i’jaz-an al-Qur’an dari segi teks amupun phonem-nya.


DAFTAR PUSTAKA:
Agama, Depertemen.  Al-Qur’an dan Terjemahnya
Abu Muhammad Abdi al-Haq ibn Ghalib ibn ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Bairut: Dar al-Ilmiyah, 2001), cet. I
Abu Bakar Ibn ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an (Bairut: Dar al-Kutub, 2003), cet. III
Ali, Yasir Atiq Muhammad. Ad-Dalalah as-Siyaqiyah wanadhzairuha inda al-Ushuliyyin wa Ahmiyatuha fi Fahmi Maqshud al-Khithab (Aden: al-Jamiah Aden, 2012), Jurnal, edisi. XXXV
Ignaz Golzdiher, Madzahib at-Tafsir, trj. Abd al-Halim al-Najjar (Cairo: Maktabah al-Khatiji, Baghdad:Maktabah  al-Mastina, 1955)
Ismail, Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-. Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah (Saudi Arabiya: Maktabah at-Taubah, 2000), cet. I
Jashshash, Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-Razi al-. Ahkam al-Qur’an (Bairut: Dar al-Haya’, 1992)
Khatib, Ahamad Sa’ad al- Al-Ma’na al-Qur’an fi Dhaui Ikhtilaf al-Qira’at (Cairo: Syabkah Tafsir wa Dirasah al-Qur’aniyat, 1425 H ), word
McAuliffe, Janne Dammen. Encyclopaedia of The Qur’an (Leiden: Brill, 2001)
Salum, Ahmad ibn Faris as-. ‘Alaqah al-Qira’at bi ‘Ilmai al-Lughah wa at-Tafsir, video, http/www.youtube.com, download: 10 Mei 2014 M.
Suyuthi, Jalal al-Din Abdu ar-Rahman ibn Abi Bakr al-. Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Saudi Arabia: Al-Mamlakah al-‘Arabiyah, tth), vol. I
Syahin, Abdu al-Shabur. Tarikh Al-Qur’an (Cairo: Nahdhah Mishr, 2007), cet. III



[1] Ignaz Golzdiher, Madzahib at-Tafsir, trj. Abd al-Halim al-Najjar (Cairo: Maktabah al-Khatiji, Baghdad:Maktabah  al-Mastina, 1955), hal. 7
[2] Janne Dammen McAuliffe, Encyclopaedia of The Qur’an (Leiden: Brill, 2001), vol. III, hal. 264
[3] Abdu al-Shabur Syahin, Tarikh Al-Qur’an (Cairo: Nahdhah Mishr, 2007), cet. III, hal. 74
[4] Abdu al-Shabur Syahin, Tarikh Al-Qur’an, hal. 58-59
[5] Jalal al-Din Abdu ar-Rahman ibn Abi Bakr as-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an (Saudi Arabia: Al-Mamlakah al-‘Arabiyah, tth), vol. I, hal. 306
[6] Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, vol. II, hal. 493
[7] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah (Saudi Arabiya: Maktabah at-Taubah, 2000), cet. I, hal. 38
[8] Jalaluddin as-Suyuthi, Al-Itqan Fi Ulum al-Qur’an, vol. II, hal. 502-506
[9] Jurnal: Yasir Atiq Muhammad Ali, Ad-Dalalah as-Siyaqiyah wanadhzairuha inda al-Ushuliyyin wa Ahmiyatuha fi Fahmi Maqshud al-Khithab (jamiah Aden, 2012), edisi. XXXV, hal. 208.
[10] Ahmad ibn Faris as-Salum, ‘Alaqah al-Qira’at bi ‘Ilmai al-Lughah wa at-Tafsir, video, http/www.youtube.com, download: 10 Mei 2014 M.
[11] Ahamad Sa’ad al-Khatib, Al-Ma’na al-Qur’an fi Dhaui Ikhtilaf al-Qira’at (Cairo: Syabkah Tafsir wa Dirasah al-Qur’aniyat, 1425 H ), word, hal. 31
[12] Ahamad Sa’ad al-Khatib, Al-Ma’na al-Qur’an fi Dhaui Ikhtilaf al-Qira’at, hal. 42
[13] Dalam kitab tafsir ini pada Bab al-Aiman, al-Jashshash membahas tentang kalimat بما عقدتم الأيمان dari sisi perbedaan qira’at. Ia mengatakan kalimat عقدتم dapat dibaca dengan tiga bacaan, yaitu dengan tasydid "عَقَّدْتُم"ْ, dengan takhfif "عَقَدْتُمْ", dan dengan dengan wazan mufa’alah "عَاقَدْتُمْ" untuk menjabarkan tentang sumpah-sumpah yang dapat diterima. [Lihat: Abu Bakar Ahmad ibn ‘Ali al-Razi al-Jashshash, Ahkam al-Qur’an (Bairut: Dar al-Haya’, 1992), vol. IV, hal. 113]
[14] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal. 356
[15] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal. 330
[16] Syamil al-Qur’an, Terjemah Tafsir Perkata.
[17] Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal. 358. Lihat juga: Abu Bakar Ibn ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an (Bairut: Dar al-Kutub, 2003), cet. III, vol. III, hal. 182
[18] Awal ayat: ومن الناس من يتخذ من دون الله أندادا يحبونهم كحب الله، والذين أمنوا أشد حبا لله ....., “dan di antara manusia ada yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.
[19] Depertemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya.
[20] Abu Muhammad Abdi al-Haq ibn Ghalib ibn ‘Athiyah, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-‘Aziz (Bairut: Dar al-Ilmiyah, 2001), cet. I, vol. I, hal. 235. Merujuk dari: Nabil ibn Muhammad Ibrahim al-Ismail, Ilmu al-Qira’at: Nasy’athu, Athwaruhu, wa Atsruhu fi al-‘Ulum asy-Syar’yah, hal. 358

1 komentar:

  1. Artikel kamu bagus gan! aku selalu menunggu artikel kamu.. Seperti artikel berjudul Tafsir Mimpi Hutan

    BalasHapus