Minggu, 13 Desember 2015

Tafsir Balaghi

TAFSIR BALAGHI
(Kajian Kitab Sofwah al-Tafasir Karya Muhammad 'Ali Al-Shabuni Dalam Surat al-Qari’ah)

Oleh: Zainul Fata

Ayat al-Qur’an
الْقَارِعَةُ [1] مَا الْقَارِعَةُ [2] وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ [3] يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ [4] وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ [5] فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ [6] فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ [7] وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ [8] فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ [9] وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ [10] نَارٌ حَامِيَةٌ [11]
“Hari Kiamat. Apa hari Kiamat itu? Tahukah kamu apa hari Kiamat itu? Pada hari itu manusia bagai anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu-bulu yang dihambur-hamburkan. Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah. Dan tahukan kamu apakah Neraka Hawiyah itu? (Yaitu) api yang sangat panas”.

Makna mufradat
القارعة : salah satu nama dari nama-nama hari Kiamat. Penyebutan tersebut disebabkan Kiamat dapat menghancur-leburkan dan mengkosongkan (menghabiskan) seluruh alam.[1] Selain itu juga ada yang mengatakan karena dapat mengkoson hati ketika merasakan kondisi masa masa itu.[2] Kata al-Qari’ah merupaka isim musytaq dari masdar al-qar’ yang berarti al-dharb bi syiddah wa quwwah (hantaman yang keras dan kuat),sebagaimana perkataan orang Arab qara’athum al-Qāri’ah .... idzā waqa’a bihim amrun fdhzī’ (apabila kekejian telah menghinggapi manusia maka al-qari’ah pasti akan menghatam (melenyapkan) mereka).[3]

الفَرَاش : Binatang sangat kecilyang terlihat bertebaran ketika tekena sinar lampu pada malam hari.[4]

المَبْثُوْث : Bertebaran dan terpisah-pisah.

العِهْن : Bulu kibas wol yang berwarna atau diberi warna.[5]

المَنْفُوْش : Bulu-bulu yang terpisah dan tercerai-berai dengan seketika dari perkumpulannya sekalipun hanya karena hempasan angin yang kecil.[6]

الهَاوِيَة : Salah satu nama dari nama-nama neraka. Penyebutan ini disebabkan neraka itu dapat meleburkan manusia hingga menjadi abu dan bergurguran.[7]

Penjelasan ayat

Allah mengawali ayat ini dengan suatu ungkapan nama, yaitu al-Qari’ah (sesuatu yang membuat kosong/ habis). Ungkapan tersebut merupakan hal penting dan belum diketahui maksud detailanya oleh manusia, sehingga dilanjutkan oleh Allah pada ayat kedua dengan pertanyaan mengenai tema di atas, apa al-Qari’ah itu. Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk meminta jawaban dari manusia, akan tetapi ingin mengajak manusia untuk berfikir hingga pada saat manusia tidak dapat menjawabnya, maka akan tampak ketidak tahuan manusia. Selain itu, diksi  kata yang digunakan sebagai nama untuk peristiwa itu membuat manusia harus memberi perhatian lebih terhadap tema yang baru saja dipertanyakan, serta mereka harus berhati-hati dan waspada agar tidak jatuh pada jurang yang memilukan.[8]

Pertanyaan mengenai tema di atas bulum selesai, Allah meneruskan kembali tema pertanyaan yang sama akan tetapi dengan kalimat yang berbeda dan lebih mendalam, tahukah kamu apa hari Kiamat itu? Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah pertanyaan mengenai pengetahuan tentang tema tersebut tidak menggunakan derivasi kata ‘ilm, tetapi menggunakan kata idrak yang bermakna “sampainya sesuatu sebab sesuatu yang lain”[9], dalam artian pengetahuan itu dicapai dengan sesuatu yang lain dari manusia (akal). Dengan demikian, kira-kira tarjemah detailnya dari ayat di atas adalah “bisakah kamu mengetahui melalui jalan pikiranmu mengenai apa Kiamat itu?”. Pertanyaan seperti ini mengindikasikan pengertian tema tersebut berada di luar jangkauan pemikiran dan pengetahuan manusia. Sekali lagi dengan pertanyaan itu, Allah ingin memberi tahu betapa pentingnya tema itu, serta betapa besar dan menakutkan fenomena hari Kiamat.[10]

Setelah Allah bertanya kepada manusia dan manusia tidak mampu menjawab karna pengetahuan itu berada diluar jangkauannya, Allah pun menjelaskan gambaran fenomena besar tersebut yaitu, Pada hari itu manusia bagai anai-anai yang bertebaran, dan gunung-gunung adalah seperti bulu-bulu yang dihambur-hamburkan. Gambaran manusia dengan kata “al-farasy al-mabtsāts” menunjukkan betapa beasarnya fenomena itu hingga membuat manusia tidak berdaya, terlalu lemah dan sangat kecil menghadapinya. Bahkan orang yang sudah mati, mereka semua bangkit dari kuburan masing masing dan terhepaskan, mereka semua terlempar terpisah-pisah, bertebaran, dan terbentang dimana-mana. Tidak terkecuali gunung-gunung sebesar apapun pada saat itu tidak lebih dari sekedar kumpulan bulu-bulu yang bertebaran dan terpecah pecah dimana-mana hanya karena hempasan angin kecil saja.[11]

Peristiwa Kiamat bukan hanya sekedar fenomena hancurnya alam, lebih dari itu, peristiwa yang sangat menakutkan itu juga merupakan perantara atau awal dari perjanjian Tuhan (yaum al-wa’īd).  Dari sini kemudian, Allah melanjutkan firmannya “Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka tempat kembalinya adalah neraka hawiyah.” Mereka yang kuantitas amal kebaikan di dunia lebih banyak dari kuantitas amal jeleknya pada saat ditimbang, ganjaran yang akan didapatkan adalah hidup dalam kepuasan, bergelimang kenikmatan dan kebahagiaan. Sebaliknya, orang-orang yang amal baiknya lebih ringan dari amal kejelekannya, tidak ada tempat berlabuh (ummhū) bagi mereka keculi al-Hawiyah.[12]

Sebagaimana ayat kedua dari surat ini, Allah bertanya kembali serta menjelaskannya, tahukah kamu apa Hawiyah itu? (yaitu) api yang sangat panas. Fungsi pertanyaan dan kalimat ini sama dengan ayat kedua di atas, yaitu memberi tekanan atau perhatian serta agar manusia mawas diri. Jika tidak, alamat yang akan mereka tuju adalah hawiyah, atau bapi yang memiliki panas tiada tanding, yang akan menghanguskan segala apa.[13]

Aspek-aspek Balaghah

      1.       وَمَا أَدْرَاكَ مَا الْقَارِعَةُ dan وَمَا أَدْرَاكَ مَا هِيَهْ merupakan istifham (kalimat tanya) yang berfungsi untuk takhfim (memberi perhatian lebih) dan tahwil (menggelisahkan).[14] Al-Qur’an dalam mengungkapkan kalimat tanya juga memiliki kesamaan dengan tujuan dasar dari pertanyaan tersebut, yaitu mencari pemahaman dan mengetahui sesuatu yang tidak diketahui. Model pertanyaan seperti ini akan banyak ditemukan dalam al-Qur’an, akan tetapi mayoritas istifhamnya menyalahi asal fitrahnya. Sebab ada maksud lain yang ingin dicapai atau disampaikan, hal ini dapat dipahami apabila melihat siyaq al-kalam.[15] Adapun diantara maksud tersebut adalah tafkhīm dan tahwīl. Maksud ini tercermin pada ayat yang sudah disebutkan di atas. Indikasinya adalah ayat tersebut menggambarkan kepada mukhatab tentang ketidakmapuan seseorang dalam mengatasi fenomena itu sebagaimana orang yang benar-benar dapat perlindungang dari Allah. Oleh karen itu seseorang yang ingin memahami hal demikian harus jeli dan tidak tergesa-gesa dalam memahami hakikat pertanyaan itu serta mencari qarinah-qarinahnya secara seksama.[16]

      2.       اَلْقَارِعَةُ، مَا الْقاَرِعَةُ؟ pada ayat ini Allah menempatkan posisi isim dhzahir pada posisi isim dhamir.  Hal seperti ini jika ditinjau dari kaidah bahasa tidaklah begitu benar, sebab jika sesuatu yang dimasudkan sudah disebutkan di awal, tidak perlu lagi menyebutkan untuk kedua kalinya, ia sudah cukup dipahami dengan cara menggunakan dhamir atau kata ganti yang kembali pada maksud sebelumnya. Dalam artian menurut kaidah bahasa untuk ayat kedua ini dapat digambarkan dengan kalimat القارعة، ما هي؟. Akan tetapi penempatan dhzahir dalam posisi dhamir juga harus dipahami secara seksama, sebab penggunaan demikian memiliki tujuan untuk menggetarkan hati manusia serta menakut-nakunya (takhwīf).

      3.       يَوْمَ يَكُونُ النَّاسُ كَالْفَرَاشِ الْمَبْثُوثِ dalam ayat ini terdapat sisi tasybih, yaitu tasbih mursal dengan menyebutkan ‘adah al-tasybih, serta tasybih mujamal dengan membuang wajh al-syibh yang berupa al-katsrah (banyaknya) dan al-intisyar (terpisah-pisah). aspek balaghi yang seperti ini juga tampak pada ayat selanjutnya وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنفُوشِ.

      4.       Adanya al-Muqabalah (perbandingan) dalam ayat فَأَمَّا مَن ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ، فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ dengan ayat وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ، فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ.

      5.       فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَّاضِيَةٍ merupakan majaz al-‘aqly, dalam artian pemiliknya ridha terhadap keputusan yang diterima dalam kehidupannya.




[1] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, Dar al-Qur’an (Bairut: 1981), cet. 4, vol. 3, hal. 595
[2] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Mushthafa al-Bani (Mesir: 1946), cet. 1, vol. 30, hal.225
[3] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[4] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226
[5] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226
[6] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226
[7] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[8] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[9] Abu al-Hasab Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr, (Bairut: 1979), vol. 2, hal. 269
[10] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 595
[11] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, hal.226, dan Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[12] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[13] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[14] Muhammad ‘Ali al-Shabuni, Shafwah al-Tafasir, hal. 596
[15] Ahmad Ahmad Badawi, Min Balahah al-Qur’an, Nahdhah Mishr (Mesir: 2005), hal. 126
[16] Ahmad Ahmad Badawi, Min Balahah al-Qur’an, 127

Konsep Surga Dalam Al-Qur'an

AL-JANNAH DALAM AL-QUR’AN
(Sebuah Pendekatan Semantik)
Oleh: Zainul Fata
A.    Makna Dasar dan Makna Relasional
Dalam al-Qur’an surga disebutkan banyak kali dari kompilasi shighat (bentuk) mufrad, jamak mua’nas salim, dan isim tatsniyah. Kata tersebut tidak hanya diperuntukkan kepada orang-orang muslim saja akan tetapi juga kepada non-muslim (Pagan, Yahudi, dan Nasrani).[1] Hanya saja tidak setiap ayat yang menyinggung tentang surga tertuju kepada muslim dan non muslim sekaligus. Memahami konsep surga dalam al-Qur’an, hal pertama kali yang harus dilakukan adalah mengetahui makna surga dari segi tekstual dan bagaimana pengungkapan konsep tersebut di dalam kitab suci umat Islam berhubungan dengan siyaq (hubungan antar kata)-nya melalui analis terhadap basic meaning (makna dasar) dan relational meaning (makna relasional).[2]
Ada tiga hal yang harus digaris bawahi untuk menentukan makna dasar kata al-jannah (surga) sebagai suatu pertimbangan, yaitu, pertma, al-jannah (surga) sabagai sebuah makna dari derivasinya, janna (menutupi).[3] Kedua, al-jannah (surga) sebagai sebuah intiqal al-ma’na (perpindahan makna) dari al-jannah yang makna al-bustan (kebun).[4] Ketiga, al-jannah ‘ala ma’na al-syar’iyah (sesuai dengan makna dalam pandangan syariat).[5] Namun, tidaklah mudah untuk memilih satu diantara tiga makna yang telah disebutkan di atas, hal ini disebabkan tiga makna tersebut memiliki kaitan yag sangat erat.
Al-jannah dengan makna yang ketiga tidak dapat dikesampingkan hanya karena makna tersebut datang terakhir, sebab bangsa Arab tidak hanya sekumpulan orang-orang pagan saja, mereka juga berinteraksi dengan orang-orang yang sebelumnya sudah mendapatkan kitab (Yahudi dan Nasrani),[6] sehingga sedikit banyak makna al-jannah yang ketiga juga akan mempengaruhi pemahaman, pengetahuan dan psikologi mereka sebelum islam datang. Hal ini sebagaimana Diwannya ‘Antarah yang dikutip oleh Toshihiko Izutsu:
“Kebahagiaan bersamamu adalah surga (jannat) yang dihiasi dengan indahnya, sedangkan neraka karena berpisah denganmu membakar segalanya, yang tidak menyisaka apapun”[7]
Sementara itu, makna al-jannah yang pertama tampak lebih layak untuk dijadikan sebagai makna dasar, sebab makna al-jannah yang kedua dan ketiga memiliki unsur makna yang pertama yaitu janna (menutupi). Al-bustan (kebun) di sebut dengan al-jannah disebabkan pohon-pohon yang berada dikebun tersebut menutupi wajah bumi (tanah), sedangakan al-jannah (surga) dengan makna yang ketiga disebut al-jannah sebab posisinya sebagai pahala yang pada saat ini masih menjadi rahasia (mastur).[8]
Akan tetapi di sini penulis lebih memilih makna yang kedua sebgai basic meaning (makna dasar) yaitu, al-jannah adalah al-bustan (kebun) dengan pohon-pohon yang menaungi tempat tinggal sesorang dengan kesejukan dan ketentraman yang selalu diidam-idamkan khususnya di dunia Arab. Pertimbangannya adalah bahwa al-Qur’an tidak menitikberatkan surga kepada kerahasiannya, ia lebih menitikberatkan kepada kenikmatan dan kesejahteraan penguni yang ada didalamnya. Bangsa Arab Makah merupakan bangsa yang bertempat tinggal di daerah yang gersang, kehidupan sosial masyarakat dan ekonomi yang keras.[9] Sehingga secara tidak langsung mereka merindukan kehidupan yang damai secara sosial dan terjamin secara ekonomi sampai mencapai kehidupan yang aman dan tentram.
Selain itu, al-Qur’an juga tidak segan-segan mendampingkan surga (kenikmatan akhirat) dengan telaga bersih dan jernih, air susu yang rasanya tidak akan pernah berubah, buah-buahan yang banyak, sekaligus kasih-sayang yang terjamin dari Tuhan-nya berupa ampunan dan segala macam kenikmatan,[10]  sebagaimana kenikmatan dunia yang tergambar dalam psikologi bangsa arab pada waktu itu bahkan lebih dari apa yang mereka bayangkan. Pohon-pohon yang mereka bayangkan sebagai pelindung dari terik panasnya matahari juga akan mereka rasakan di surga[11] selama-lamanya (al-khulud)[12]
Baru saja dibahas tentang apa makna dasar kata al-jannah. Makna tersebut merupakan dunia yang kasat mata, dalam artian al-bustan (kebun) dengan pohon-pohon yang menaunginya dapat dirasakan adanya secara kasat mata, walaupun hal itu cukup sulit untuk dirasakan oleh orang Arab pada masa itu. Akan tetapi di lain sisi al-Qur’an telah membawa  al-jannah dengan makna al-bustan tersebut ke dunia metafisis, dunia yang tidak dapat dinikmati oleh manusia saat ini, dunia itu hanya dapat dinikmati besok pada hari perjanjian (yaum al-wa’id). Selain itu al-jannah pada hari perjanjian tidak hanya dapat dirasakan oleh sembarang orang, hanya orang-orang tertentu saja yang akan merasakan, sedangkan sisinya akan ditempatkan di nar (neraka).[13]
Dalam al-Qur’an akan ditemukan antonim kata al-jannah dalam makna metafisis ini yaitu al-nar. Pada awalnya dua kata tersebut memiliki makna yang dapat dirasakan saat ini, kemudian beralih kepada makna metafisis, dan secara bersamaan pula kedua kata tersebut menjadi lawan katanya, yang pada awalnya tidak memiliki hubungan apapun, sehingga makna al-jannah sebagai al-bustan lambat laun hanya dipahami sebagai tempat kenikmatan, ketenangan, kedamaain dalan berbagai macam hal positif lainnya. Demikian pula, kata al-nar yang pada awalanya merupakan sesuatu yang bebas nilai berlih menjadi klaim tempat kesengsaraan, kepedihan, dan berbagai hal negatif lainnya. Dari peralihan jannah kepada makna positif inilah kemudian, timbul makna-makna baru tanpa kehilangan eksistensi kepositifannya, yaitu nama-nama baru yang sekaligus menjadi makna relasional kata al-jannah. Adapun makna relasional tersebut adalah sebagai berikut:
                              1.            Al-firdaus (surga firdaus).[14]
                              2.            ‘Adn (surga Adn).[15]
                              3.            Al-Na’im (Surga Na’im).[16]
                              4.            Al-Ma’wa (Surga Ma’wa).[17]
                              5.            Dar al-Salam (Surga Darussalam).[18]
                              6.            Dar al-Maqamah (Surga Maqamah).[19]
                              7.            Al-Khuld (Surga Khuld).[20]
Hal yang perlu diperhatikan adalah nama-nama surga tersebut tidak lepas dari kebutuhan orang arab pada masa itu khususnya dan orang-orang selain Arab umumnya. Misalnya, jannah al-Ma’wa. Ma’wa berarti tempat untuk berlindung dan berteduh, dan berlabuh. Terlepas dari apakah kata “ma’wa” juga dijadikan sandingan “al-jahim” atau tidak, namun dari segi maknanya bawahwa “ma’wa” merupakan kebutuhan orang-orang arab, bahkan orang-orang dewasa ini. Sedangkan al-Firdaus merupakan simbol kemewahan yang tiada tara dari segala apapun,[21] sebagaimna keinginan orang Arab dan bahkan juga selain Arab hingga saat ini.
B.     Aspek Sinkronik dan Diakronik
Satu-satunya nabi utusan dari kalangan orang Arab hanya Nabi Muhammd. Nabi-nabi sebelumnya hanya dari kalangan bani Israil saja. Mereka pun juga hanya diutus untuk kaumnya sendiri, tidak untuk kaum yang lain. Dengan demikian pada dasarnya orang Arab tidak mengerti tentang tentang konsep agama samawi (langit), akan tetapi mereka bukan tidak mengerti sepenuhnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sekalipun bangsa Arab termasuk orang-orang penyembah berhala, mereka telah berinteraksi dengan orang-orang ahli kitab yang sedikit banyak akan mengerti tentang konsep agama samawi,[22] bahkan Waraqah ibn Naufal, paman Khadijah adalah seseorang ahl al-kitab yang memahami kitab Yahudi.[23]
Mengenai konsep surga sebelum datangnya islam dikalangan Arab dapat dibagi menjadi dua pemahaman:
Pertama, sebelum datangnya Islam
a.       pemahaman surga dikalangan orang Arab Pagan sebagaimana syair ‘Antarah dapat dipahami bahwa surga merupakan tempat atau ekspresi dari kenikmatan dan neraka merupakan ekpresi dari kepedihan dan siksaan. Mereka tidak sampai menghaki tentang siapa yang akan masuk surga atau neraka.
a.       pemahaman surga dalam pandangan Yahudi atau Nashrani. Hal ini digambarkan dengan ayat al-Qur’an QS. al-Baqarah: 111,
وَقَالُواْ لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَن كَانَ هُوداً أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُواْ بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ [البقرة : 111]
Al-Zamakhsyari menjelaskan dalam al-Kasysyaf, ayat ini menyatakanan adanya sifat saling menyesatkan anatra yahudi dan Nasrani. Pihak Yahudi menyatakan ahli surga hanyalah golongan orang Yahudi saja sedangkan Nasrani tidak, demikian pula sebaliknya yang dinyatakan oleh pihak Nasrani.[24] Dengan demikian adanya perbedaan tingkat pemahan antara orang arab pagan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dua golongan tersebut mulai memasuki pada pemahaman kreteria orang-orang yang masuk surga. Dalam artian, surga sebagai tempat kenikmatan tidak dapat dimasuki oleh orang sembarangan, mereka haru dari salah satu golongan yang mememang dikendaki masuk surga.
Kedua, periode turunnya al-Qur’an pemahaman tentang surga ada beberapa perbendaan sekaligus persamaan dengan pemahaman orang Yahudi dan Nasrani, hanya saja al-Qur’an memperbaiki pemahaman kreteria yang diberikan oleh dua golongan tersebut dan menegaskan secara adil dan bijaksana tentang siapa saja yang masuk surga. Adpun kreteria yang diberikan oleh al-Qur’an adalah mereka harus beriman, bertaqwa, dan melaksanakan amal yang shaleh. Bahakan al-Qur’an juga menegaskan, baik orang-orang yang berimana, Yahudi, Nashrani, dan al-Shabiun, selama mereka beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, serta melakukan amal shaleh, mereka berhak untuk mendapatkan balasan kebaikan di sisi tuhan mereka. Mereka tidak perlu hawatir ataupun bersedih hati.[25]
C.    Weltanschauung
Bagian atas sudah dijelaskan tentang bagaimana konsepsi surga meenurut orang arab pagan, dan golongan Yahudi dan Nashrani, dan terakhir konsepsi surga menurut al-Qur’an. Konsepsi mereka mengenai surga sangat jelas perbedaannya, dan hal ini sangat perlu diperhatiakan. Dari pemahaman Arab Pagan yang kabur, serta pemahaman Yahudi-Nasrani yang saling mengklaim, al-Qur’an membuat merenovasi kembali bangunan mengenai konsep surga dengan membuat beberapa tambahan-tambahan dan memperjelas posisinya.
Ada ayat al-Qur’an yang harus diperhatikan, yaitu, QS. al-Baqarah: 214,
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? ......”
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah pertanyaan yang sifatnya mengejek dan mengajak untuk berfikir kepada manusia akan perbuatan yang pantas mendapatkan balasn surga. Di sisi lain adalah pertanyaan demikian memiliki indikasi sipenanya memiliki kuasa atas yang ditanya untuk menetapkan suatu hasil yang dicapai, yaitu Allah.
Dari sini kemudian perbendaan konsep al-Qur’an dengan konsepsi orang Yahudi-Nashrani adalah kedua golongan itu telah menghakimi dirinya sendiri mengenai surga, sedangkan dalam konsep islam, Allah adalah penentu hasilnya (surga). Tidak hanya menentukan, Allah juga memberikan wewenang kepada manusia untuk menggerakkan dirinya dalam menentukan pilihan tersebut, yaitu dengan memberi peluang untuk beriman, beramal saleh, dan bertaqwa hingga akhirnya dia mendapatkan Surga.

Oleh kerena itu, konsep surga dalam al-Qur’an adalah bahwa surga tidak berdiri sendiri. Di sana Ada Tuhan yang menempati posisi sentral, ada perjanjian dalam melaksanakan wewanang, dan ada balasan yang akan dicapai. Jika wewenang (amanat) itu dilaksanakan dengan baik, maka surga adalah balasannya, jika sebaliknya maka neraka akan menunggunya.




[1] QS. al-Furqan: 8 dan  15
[2] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, Tiara Wacana (Yogyakarta: 1997), cet. I, hal. 11
[3] Ibn Mandhzur, Lisan al-Arab, Dar al-Ma’arif (Kairo: tth), cet. Edisi baru, vol. I, hal. 701
[4] Ibn Mandhzur, Lisan al-Arab, vol. I, hal. 705
[5] Abu al-Hasan Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr (Bairut: 1907), vol. I, hal. 421
[6] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal. 96
[7] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal. 92
[8] Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufadat fi gharib al-Qur’an, Dar al-Ma’rifah (Bairut: tth), hal. 98., lihat juga: Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, vol. I, hal. 421
[9] Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-‘Arabi: al-‘Ashr al-Jahili, Dar al-Ma’arif (Kairo: tth), cet. XI, vol. I, hal. 67-77 dan 18a
[10] QS. Muhammad: 15
[11] Ibn al-Mandhzur, Lisan al-Arab, vol. I, hal. 706
[12] QS. Al-Furqan: 15
[13] QS. al-Baqarah: 39
[14] QS. al-Kahfi: 107, dan al-Mu’minun: 11
[15] QS. al-Taubah: 72, al-Ra’d: 23, al-Nakhl: 31, al-Kahfi: 31, Maryam: 61, Thaha: 76, Fathir: 33, Shad: 50, dan al-Shaf: 12.
[16] QS. al-Maidah: 65, al-Taubah: 21, Yunus: 9, al-Hajj: 56, al-Syu’ara’: 85, Luqman: 8, al-Shaffat: 43, al-Thr: 17, al-Waqi’ah: 12 dan 89, al-Qalam: 34, al-Ma’arij: 38, al-Infithar: 13, a-Muthaffin: 22, dan al-Takatur: 8.
[17] QS. al-Sajadah: 19, al-Najm: 15, dan al-Nazi’at: 41.
[18] QS; al-An’am: 127, dan Yunus: 25.
[19] QS. Fathir: 35
[20] QS. al-Furqan: 15
[21] Abu Hafsh ‘Umar ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimasyqi, al-Lubab fi ‘Ulum l-Kitab, Dar al-Ilmiyah (Bairut: 1998), cet. I, Vol. 12, hal. 575-576
[22] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal. 103
[23] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal.114
[24] Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf: ‘An Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, Dar al-Ma’ri8fah (Bairut: 2009), cet. III, hal. 91
[25] QS. al-Baqarah: 62