Minggu, 13 Desember 2015

Konsep Surga Dalam Al-Qur'an

AL-JANNAH DALAM AL-QUR’AN
(Sebuah Pendekatan Semantik)
Oleh: Zainul Fata
A.    Makna Dasar dan Makna Relasional
Dalam al-Qur’an surga disebutkan banyak kali dari kompilasi shighat (bentuk) mufrad, jamak mua’nas salim, dan isim tatsniyah. Kata tersebut tidak hanya diperuntukkan kepada orang-orang muslim saja akan tetapi juga kepada non-muslim (Pagan, Yahudi, dan Nasrani).[1] Hanya saja tidak setiap ayat yang menyinggung tentang surga tertuju kepada muslim dan non muslim sekaligus. Memahami konsep surga dalam al-Qur’an, hal pertama kali yang harus dilakukan adalah mengetahui makna surga dari segi tekstual dan bagaimana pengungkapan konsep tersebut di dalam kitab suci umat Islam berhubungan dengan siyaq (hubungan antar kata)-nya melalui analis terhadap basic meaning (makna dasar) dan relational meaning (makna relasional).[2]
Ada tiga hal yang harus digaris bawahi untuk menentukan makna dasar kata al-jannah (surga) sebagai suatu pertimbangan, yaitu, pertma, al-jannah (surga) sabagai sebuah makna dari derivasinya, janna (menutupi).[3] Kedua, al-jannah (surga) sebagai sebuah intiqal al-ma’na (perpindahan makna) dari al-jannah yang makna al-bustan (kebun).[4] Ketiga, al-jannah ‘ala ma’na al-syar’iyah (sesuai dengan makna dalam pandangan syariat).[5] Namun, tidaklah mudah untuk memilih satu diantara tiga makna yang telah disebutkan di atas, hal ini disebabkan tiga makna tersebut memiliki kaitan yag sangat erat.
Al-jannah dengan makna yang ketiga tidak dapat dikesampingkan hanya karena makna tersebut datang terakhir, sebab bangsa Arab tidak hanya sekumpulan orang-orang pagan saja, mereka juga berinteraksi dengan orang-orang yang sebelumnya sudah mendapatkan kitab (Yahudi dan Nasrani),[6] sehingga sedikit banyak makna al-jannah yang ketiga juga akan mempengaruhi pemahaman, pengetahuan dan psikologi mereka sebelum islam datang. Hal ini sebagaimana Diwannya ‘Antarah yang dikutip oleh Toshihiko Izutsu:
“Kebahagiaan bersamamu adalah surga (jannat) yang dihiasi dengan indahnya, sedangkan neraka karena berpisah denganmu membakar segalanya, yang tidak menyisaka apapun”[7]
Sementara itu, makna al-jannah yang pertama tampak lebih layak untuk dijadikan sebagai makna dasar, sebab makna al-jannah yang kedua dan ketiga memiliki unsur makna yang pertama yaitu janna (menutupi). Al-bustan (kebun) di sebut dengan al-jannah disebabkan pohon-pohon yang berada dikebun tersebut menutupi wajah bumi (tanah), sedangakan al-jannah (surga) dengan makna yang ketiga disebut al-jannah sebab posisinya sebagai pahala yang pada saat ini masih menjadi rahasia (mastur).[8]
Akan tetapi di sini penulis lebih memilih makna yang kedua sebgai basic meaning (makna dasar) yaitu, al-jannah adalah al-bustan (kebun) dengan pohon-pohon yang menaungi tempat tinggal sesorang dengan kesejukan dan ketentraman yang selalu diidam-idamkan khususnya di dunia Arab. Pertimbangannya adalah bahwa al-Qur’an tidak menitikberatkan surga kepada kerahasiannya, ia lebih menitikberatkan kepada kenikmatan dan kesejahteraan penguni yang ada didalamnya. Bangsa Arab Makah merupakan bangsa yang bertempat tinggal di daerah yang gersang, kehidupan sosial masyarakat dan ekonomi yang keras.[9] Sehingga secara tidak langsung mereka merindukan kehidupan yang damai secara sosial dan terjamin secara ekonomi sampai mencapai kehidupan yang aman dan tentram.
Selain itu, al-Qur’an juga tidak segan-segan mendampingkan surga (kenikmatan akhirat) dengan telaga bersih dan jernih, air susu yang rasanya tidak akan pernah berubah, buah-buahan yang banyak, sekaligus kasih-sayang yang terjamin dari Tuhan-nya berupa ampunan dan segala macam kenikmatan,[10]  sebagaimana kenikmatan dunia yang tergambar dalam psikologi bangsa arab pada waktu itu bahkan lebih dari apa yang mereka bayangkan. Pohon-pohon yang mereka bayangkan sebagai pelindung dari terik panasnya matahari juga akan mereka rasakan di surga[11] selama-lamanya (al-khulud)[12]
Baru saja dibahas tentang apa makna dasar kata al-jannah. Makna tersebut merupakan dunia yang kasat mata, dalam artian al-bustan (kebun) dengan pohon-pohon yang menaunginya dapat dirasakan adanya secara kasat mata, walaupun hal itu cukup sulit untuk dirasakan oleh orang Arab pada masa itu. Akan tetapi di lain sisi al-Qur’an telah membawa  al-jannah dengan makna al-bustan tersebut ke dunia metafisis, dunia yang tidak dapat dinikmati oleh manusia saat ini, dunia itu hanya dapat dinikmati besok pada hari perjanjian (yaum al-wa’id). Selain itu al-jannah pada hari perjanjian tidak hanya dapat dirasakan oleh sembarang orang, hanya orang-orang tertentu saja yang akan merasakan, sedangkan sisinya akan ditempatkan di nar (neraka).[13]
Dalam al-Qur’an akan ditemukan antonim kata al-jannah dalam makna metafisis ini yaitu al-nar. Pada awalnya dua kata tersebut memiliki makna yang dapat dirasakan saat ini, kemudian beralih kepada makna metafisis, dan secara bersamaan pula kedua kata tersebut menjadi lawan katanya, yang pada awalnya tidak memiliki hubungan apapun, sehingga makna al-jannah sebagai al-bustan lambat laun hanya dipahami sebagai tempat kenikmatan, ketenangan, kedamaain dalan berbagai macam hal positif lainnya. Demikian pula, kata al-nar yang pada awalanya merupakan sesuatu yang bebas nilai berlih menjadi klaim tempat kesengsaraan, kepedihan, dan berbagai hal negatif lainnya. Dari peralihan jannah kepada makna positif inilah kemudian, timbul makna-makna baru tanpa kehilangan eksistensi kepositifannya, yaitu nama-nama baru yang sekaligus menjadi makna relasional kata al-jannah. Adapun makna relasional tersebut adalah sebagai berikut:
                              1.            Al-firdaus (surga firdaus).[14]
                              2.            ‘Adn (surga Adn).[15]
                              3.            Al-Na’im (Surga Na’im).[16]
                              4.            Al-Ma’wa (Surga Ma’wa).[17]
                              5.            Dar al-Salam (Surga Darussalam).[18]
                              6.            Dar al-Maqamah (Surga Maqamah).[19]
                              7.            Al-Khuld (Surga Khuld).[20]
Hal yang perlu diperhatikan adalah nama-nama surga tersebut tidak lepas dari kebutuhan orang arab pada masa itu khususnya dan orang-orang selain Arab umumnya. Misalnya, jannah al-Ma’wa. Ma’wa berarti tempat untuk berlindung dan berteduh, dan berlabuh. Terlepas dari apakah kata “ma’wa” juga dijadikan sandingan “al-jahim” atau tidak, namun dari segi maknanya bawahwa “ma’wa” merupakan kebutuhan orang-orang arab, bahkan orang-orang dewasa ini. Sedangkan al-Firdaus merupakan simbol kemewahan yang tiada tara dari segala apapun,[21] sebagaimna keinginan orang Arab dan bahkan juga selain Arab hingga saat ini.
B.     Aspek Sinkronik dan Diakronik
Satu-satunya nabi utusan dari kalangan orang Arab hanya Nabi Muhammd. Nabi-nabi sebelumnya hanya dari kalangan bani Israil saja. Mereka pun juga hanya diutus untuk kaumnya sendiri, tidak untuk kaum yang lain. Dengan demikian pada dasarnya orang Arab tidak mengerti tentang tentang konsep agama samawi (langit), akan tetapi mereka bukan tidak mengerti sepenuhnya. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, sekalipun bangsa Arab termasuk orang-orang penyembah berhala, mereka telah berinteraksi dengan orang-orang ahli kitab yang sedikit banyak akan mengerti tentang konsep agama samawi,[22] bahkan Waraqah ibn Naufal, paman Khadijah adalah seseorang ahl al-kitab yang memahami kitab Yahudi.[23]
Mengenai konsep surga sebelum datangnya islam dikalangan Arab dapat dibagi menjadi dua pemahaman:
Pertama, sebelum datangnya Islam
a.       pemahaman surga dikalangan orang Arab Pagan sebagaimana syair ‘Antarah dapat dipahami bahwa surga merupakan tempat atau ekspresi dari kenikmatan dan neraka merupakan ekpresi dari kepedihan dan siksaan. Mereka tidak sampai menghaki tentang siapa yang akan masuk surga atau neraka.
a.       pemahaman surga dalam pandangan Yahudi atau Nashrani. Hal ini digambarkan dengan ayat al-Qur’an QS. al-Baqarah: 111,
وَقَالُواْ لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَن كَانَ هُوداً أَوْ نَصَارَى تِلْكَ أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُواْ بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ [البقرة : 111]
Al-Zamakhsyari menjelaskan dalam al-Kasysyaf, ayat ini menyatakanan adanya sifat saling menyesatkan anatra yahudi dan Nasrani. Pihak Yahudi menyatakan ahli surga hanyalah golongan orang Yahudi saja sedangkan Nasrani tidak, demikian pula sebaliknya yang dinyatakan oleh pihak Nasrani.[24] Dengan demikian adanya perbedaan tingkat pemahan antara orang arab pagan dengan orang Yahudi dan Nasrani. Dua golongan tersebut mulai memasuki pada pemahaman kreteria orang-orang yang masuk surga. Dalam artian, surga sebagai tempat kenikmatan tidak dapat dimasuki oleh orang sembarangan, mereka haru dari salah satu golongan yang mememang dikendaki masuk surga.
Kedua, periode turunnya al-Qur’an pemahaman tentang surga ada beberapa perbendaan sekaligus persamaan dengan pemahaman orang Yahudi dan Nasrani, hanya saja al-Qur’an memperbaiki pemahaman kreteria yang diberikan oleh dua golongan tersebut dan menegaskan secara adil dan bijaksana tentang siapa saja yang masuk surga. Adpun kreteria yang diberikan oleh al-Qur’an adalah mereka harus beriman, bertaqwa, dan melaksanakan amal yang shaleh. Bahakan al-Qur’an juga menegaskan, baik orang-orang yang berimana, Yahudi, Nashrani, dan al-Shabiun, selama mereka beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, serta melakukan amal shaleh, mereka berhak untuk mendapatkan balasan kebaikan di sisi tuhan mereka. Mereka tidak perlu hawatir ataupun bersedih hati.[25]
C.    Weltanschauung
Bagian atas sudah dijelaskan tentang bagaimana konsepsi surga meenurut orang arab pagan, dan golongan Yahudi dan Nashrani, dan terakhir konsepsi surga menurut al-Qur’an. Konsepsi mereka mengenai surga sangat jelas perbedaannya, dan hal ini sangat perlu diperhatiakan. Dari pemahaman Arab Pagan yang kabur, serta pemahaman Yahudi-Nasrani yang saling mengklaim, al-Qur’an membuat merenovasi kembali bangunan mengenai konsep surga dengan membuat beberapa tambahan-tambahan dan memperjelas posisinya.
Ada ayat al-Qur’an yang harus diperhatikan, yaitu, QS. al-Baqarah: 214,
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? ......”
Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah pertanyaan yang sifatnya mengejek dan mengajak untuk berfikir kepada manusia akan perbuatan yang pantas mendapatkan balasn surga. Di sisi lain adalah pertanyaan demikian memiliki indikasi sipenanya memiliki kuasa atas yang ditanya untuk menetapkan suatu hasil yang dicapai, yaitu Allah.
Dari sini kemudian perbendaan konsep al-Qur’an dengan konsepsi orang Yahudi-Nashrani adalah kedua golongan itu telah menghakimi dirinya sendiri mengenai surga, sedangkan dalam konsep islam, Allah adalah penentu hasilnya (surga). Tidak hanya menentukan, Allah juga memberikan wewenang kepada manusia untuk menggerakkan dirinya dalam menentukan pilihan tersebut, yaitu dengan memberi peluang untuk beriman, beramal saleh, dan bertaqwa hingga akhirnya dia mendapatkan Surga.

Oleh kerena itu, konsep surga dalam al-Qur’an adalah bahwa surga tidak berdiri sendiri. Di sana Ada Tuhan yang menempati posisi sentral, ada perjanjian dalam melaksanakan wewanang, dan ada balasan yang akan dicapai. Jika wewenang (amanat) itu dilaksanakan dengan baik, maka surga adalah balasannya, jika sebaliknya maka neraka akan menunggunya.




[1] QS. al-Furqan: 8 dan  15
[2] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, Tiara Wacana (Yogyakarta: 1997), cet. I, hal. 11
[3] Ibn Mandhzur, Lisan al-Arab, Dar al-Ma’arif (Kairo: tth), cet. Edisi baru, vol. I, hal. 701
[4] Ibn Mandhzur, Lisan al-Arab, vol. I, hal. 705
[5] Abu al-Hasan Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr (Bairut: 1907), vol. I, hal. 421
[6] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal. 96
[7] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal. 92
[8] Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad al-Raghib al-Ashfahani, al-Mufadat fi gharib al-Qur’an, Dar al-Ma’rifah (Bairut: tth), hal. 98., lihat juga: Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah, vol. I, hal. 421
[9] Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-‘Arabi: al-‘Ashr al-Jahili, Dar al-Ma’arif (Kairo: tth), cet. XI, vol. I, hal. 67-77 dan 18a
[10] QS. Muhammad: 15
[11] Ibn al-Mandhzur, Lisan al-Arab, vol. I, hal. 706
[12] QS. Al-Furqan: 15
[13] QS. al-Baqarah: 39
[14] QS. al-Kahfi: 107, dan al-Mu’minun: 11
[15] QS. al-Taubah: 72, al-Ra’d: 23, al-Nakhl: 31, al-Kahfi: 31, Maryam: 61, Thaha: 76, Fathir: 33, Shad: 50, dan al-Shaf: 12.
[16] QS. al-Maidah: 65, al-Taubah: 21, Yunus: 9, al-Hajj: 56, al-Syu’ara’: 85, Luqman: 8, al-Shaffat: 43, al-Thr: 17, al-Waqi’ah: 12 dan 89, al-Qalam: 34, al-Ma’arij: 38, al-Infithar: 13, a-Muthaffin: 22, dan al-Takatur: 8.
[17] QS. al-Sajadah: 19, al-Najm: 15, dan al-Nazi’at: 41.
[18] QS; al-An’am: 127, dan Yunus: 25.
[19] QS. Fathir: 35
[20] QS. al-Furqan: 15
[21] Abu Hafsh ‘Umar ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimasyqi, al-Lubab fi ‘Ulum l-Kitab, Dar al-Ilmiyah (Bairut: 1998), cet. I, Vol. 12, hal. 575-576
[22] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal. 103
[23] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia: Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, hal.114
[24] Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf: ‘An Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil, Dar al-Ma’ri8fah (Bairut: 2009), cet. III, hal. 91
[25] QS. al-Baqarah: 62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar