AL-JANNAH
DALAM AL-QUR’AN
(Sebuah
Pendekatan Semantik)
Oleh: Zainul
Fata
A.
Makna Dasar
dan Makna Relasional
Dalam al-Qur’an
surga disebutkan banyak kali dari kompilasi shighat (bentuk) mufrad,
jamak mua’nas salim, dan isim tatsniyah. Kata tersebut tidak hanya
diperuntukkan kepada orang-orang muslim saja akan tetapi juga kepada non-muslim
(Pagan, Yahudi, dan Nasrani).[1]
Hanya saja tidak setiap ayat yang menyinggung tentang surga tertuju kepada
muslim dan non muslim sekaligus. Memahami konsep surga dalam al-Qur’an, hal
pertama kali yang harus dilakukan adalah mengetahui makna surga dari segi tekstual
dan bagaimana pengungkapan konsep tersebut di dalam kitab suci umat Islam
berhubungan dengan siyaq (hubungan antar kata)-nya melalui analis
terhadap basic meaning (makna dasar) dan relational meaning
(makna relasional).[2]
Ada tiga hal
yang harus digaris bawahi untuk menentukan makna dasar kata al-jannah
(surga) sebagai suatu pertimbangan, yaitu, pertma, al-jannah
(surga) sabagai sebuah makna dari derivasinya, janna (menutupi).[3] Kedua,
al-jannah (surga) sebagai sebuah intiqal al-ma’na (perpindahan
makna) dari al-jannah yang makna al-bustan (kebun).[4] Ketiga,
al-jannah ‘ala ma’na al-syar’iyah (sesuai dengan makna dalam pandangan
syariat).[5] Namun,
tidaklah mudah untuk memilih satu diantara tiga makna yang telah disebutkan di
atas, hal ini disebabkan tiga makna tersebut memiliki kaitan yag sangat erat.
Al-jannah dengan makna
yang ketiga tidak dapat dikesampingkan hanya karena makna tersebut datang
terakhir, sebab bangsa Arab tidak hanya sekumpulan orang-orang pagan saja,
mereka juga berinteraksi dengan orang-orang yang sebelumnya sudah mendapatkan
kitab (Yahudi dan Nasrani),[6]
sehingga sedikit banyak makna al-jannah yang ketiga juga akan
mempengaruhi pemahaman, pengetahuan dan psikologi mereka sebelum islam datang.
Hal ini sebagaimana Diwannya ‘Antarah yang dikutip oleh Toshihiko Izutsu:
“Kebahagiaan
bersamamu adalah surga (jannat) yang dihiasi dengan indahnya, sedangkan
neraka karena berpisah denganmu membakar segalanya, yang tidak menyisaka
apapun”[7]
Sementara itu,
makna al-jannah yang pertama tampak lebih layak untuk dijadikan sebagai makna
dasar, sebab makna al-jannah yang kedua dan ketiga memiliki unsur makna
yang pertama yaitu janna (menutupi). Al-bustan (kebun) di sebut
dengan al-jannah disebabkan pohon-pohon yang berada dikebun tersebut
menutupi wajah bumi (tanah), sedangakan al-jannah (surga) dengan makna yang
ketiga disebut al-jannah sebab posisinya sebagai pahala yang pada saat ini
masih menjadi rahasia (mastur).[8]
Akan tetapi di
sini penulis lebih memilih makna yang kedua sebgai basic meaning (makna
dasar) yaitu, al-jannah adalah al-bustan (kebun) dengan
pohon-pohon yang menaungi tempat tinggal sesorang dengan kesejukan dan
ketentraman yang selalu diidam-idamkan khususnya di dunia Arab. Pertimbangannya
adalah bahwa al-Qur’an tidak menitikberatkan surga kepada kerahasiannya, ia
lebih menitikberatkan kepada kenikmatan dan kesejahteraan penguni yang ada
didalamnya. Bangsa Arab Makah merupakan bangsa yang bertempat tinggal di daerah
yang gersang, kehidupan sosial masyarakat dan ekonomi yang keras.[9]
Sehingga secara tidak langsung mereka merindukan kehidupan yang damai secara
sosial dan terjamin secara ekonomi sampai mencapai kehidupan yang aman dan
tentram.
Selain itu, al-Qur’an
juga tidak segan-segan mendampingkan surga (kenikmatan akhirat) dengan telaga
bersih dan jernih, air susu yang rasanya tidak akan pernah berubah, buah-buahan
yang banyak, sekaligus kasih-sayang yang terjamin dari Tuhan-nya berupa ampunan
dan segala macam kenikmatan,[10] sebagaimana kenikmatan dunia yang tergambar
dalam psikologi bangsa arab pada waktu itu bahkan lebih dari apa yang mereka
bayangkan. Pohon-pohon yang mereka bayangkan sebagai pelindung dari terik
panasnya matahari juga akan mereka rasakan di surga[11]
selama-lamanya (al-khulud)[12]
Baru saja
dibahas tentang apa makna dasar kata al-jannah. Makna tersebut merupakan
dunia yang kasat mata, dalam artian al-bustan (kebun) dengan pohon-pohon
yang menaunginya dapat dirasakan adanya secara kasat mata, walaupun hal itu
cukup sulit untuk dirasakan oleh orang Arab pada masa itu. Akan tetapi di lain
sisi al-Qur’an telah membawa al-jannah
dengan makna al-bustan tersebut ke dunia metafisis, dunia yang tidak
dapat dinikmati oleh manusia saat ini, dunia itu hanya dapat dinikmati besok
pada hari perjanjian (yaum al-wa’id). Selain itu al-jannah pada
hari perjanjian tidak hanya dapat dirasakan oleh sembarang orang, hanya
orang-orang tertentu saja yang akan merasakan, sedangkan sisinya akan
ditempatkan di nar (neraka).[13]
Dalam al-Qur’an
akan ditemukan antonim kata al-jannah dalam makna metafisis ini yaitu al-nar.
Pada awalnya dua kata tersebut memiliki makna yang dapat dirasakan saat ini,
kemudian beralih kepada makna metafisis, dan secara bersamaan pula kedua kata
tersebut menjadi lawan katanya, yang pada awalnya tidak memiliki hubungan
apapun, sehingga makna al-jannah sebagai al-bustan lambat laun
hanya dipahami sebagai tempat kenikmatan, ketenangan, kedamaain dalan berbagai
macam hal positif lainnya. Demikian pula, kata al-nar yang pada awalanya
merupakan sesuatu yang bebas nilai berlih menjadi klaim tempat kesengsaraan,
kepedihan, dan berbagai hal negatif lainnya. Dari peralihan jannah
kepada makna positif inilah kemudian, timbul makna-makna baru tanpa kehilangan
eksistensi kepositifannya, yaitu nama-nama baru yang sekaligus menjadi makna
relasional kata al-jannah. Adapun makna relasional tersebut adalah
sebagai berikut:
Hal yang perlu
diperhatikan adalah nama-nama surga tersebut tidak lepas dari kebutuhan orang
arab pada masa itu khususnya dan orang-orang selain Arab umumnya. Misalnya, jannah
al-Ma’wa. Ma’wa berarti tempat untuk berlindung dan berteduh, dan
berlabuh. Terlepas dari apakah kata “ma’wa” juga dijadikan sandingan “al-jahim”
atau tidak, namun dari segi maknanya bawahwa “ma’wa” merupakan kebutuhan
orang-orang arab, bahkan orang-orang dewasa ini. Sedangkan al-Firdaus
merupakan simbol kemewahan yang tiada tara dari segala apapun,[21]
sebagaimna keinginan orang Arab dan bahkan juga selain Arab hingga saat ini.
B.
Aspek
Sinkronik dan Diakronik
Satu-satunya
nabi utusan dari kalangan orang Arab hanya Nabi Muhammd. Nabi-nabi sebelumnya
hanya dari kalangan bani Israil saja. Mereka pun juga hanya diutus untuk
kaumnya sendiri, tidak untuk kaum yang lain. Dengan demikian pada dasarnya
orang Arab tidak mengerti tentang tentang konsep agama samawi (langit),
akan tetapi mereka bukan tidak mengerti sepenuhnya. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, sekalipun bangsa Arab termasuk orang-orang penyembah
berhala, mereka telah berinteraksi dengan orang-orang ahli kitab yang sedikit
banyak akan mengerti tentang konsep agama samawi,[22]
bahkan Waraqah ibn Naufal, paman Khadijah adalah seseorang ahl al-kitab
yang memahami kitab Yahudi.[23]
Mengenai
konsep surga sebelum datangnya islam dikalangan Arab dapat dibagi menjadi dua
pemahaman:
Pertama, sebelum
datangnya Islam
a.
pemahaman surga dikalangan orang
Arab Pagan sebagaimana syair ‘Antarah dapat dipahami bahwa surga merupakan
tempat atau ekspresi dari kenikmatan dan neraka merupakan ekpresi dari
kepedihan dan siksaan. Mereka tidak sampai menghaki tentang siapa yang akan
masuk surga atau neraka.
a.
pemahaman surga dalam pandangan
Yahudi atau Nashrani. Hal ini digambarkan dengan ayat al-Qur’an QS. al-Baqarah:
111,
وَقَالُواْ
لَن يَدْخُلَ الْجَنَّةَ إِلاَّ مَن كَانَ هُوداً أَوْ نَصَارَى تِلْكَ
أَمَانِيُّهُمْ قُلْ هَاتُواْ بُرْهَانَكُمْ إِن كُنتُمْ صَادِقِينَ [البقرة :
111]
Al-Zamakhsyari
menjelaskan dalam al-Kasysyaf, ayat ini menyatakanan adanya sifat saling
menyesatkan anatra yahudi dan Nasrani. Pihak Yahudi menyatakan ahli surga
hanyalah golongan orang Yahudi saja sedangkan Nasrani tidak, demikian pula sebaliknya
yang dinyatakan oleh pihak Nasrani.[24]
Dengan demikian adanya perbedaan tingkat pemahan antara orang arab pagan dengan
orang Yahudi dan Nasrani. Dua golongan tersebut mulai memasuki pada pemahaman
kreteria orang-orang yang masuk surga. Dalam artian, surga sebagai tempat
kenikmatan tidak dapat dimasuki oleh orang sembarangan, mereka haru dari salah
satu golongan yang mememang dikendaki masuk surga.
Kedua, periode
turunnya al-Qur’an pemahaman tentang surga ada beberapa perbendaan sekaligus
persamaan dengan pemahaman orang Yahudi dan Nasrani, hanya saja al-Qur’an memperbaiki
pemahaman kreteria yang diberikan oleh dua golongan tersebut dan menegaskan
secara adil dan bijaksana tentang siapa saja yang masuk surga. Adpun kreteria
yang diberikan oleh al-Qur’an adalah mereka harus beriman, bertaqwa, dan
melaksanakan amal yang shaleh. Bahakan al-Qur’an juga menegaskan, baik
orang-orang yang berimana, Yahudi, Nashrani, dan al-Shabiun, selama
mereka beriman kepada Allah dan kepada hari akhir, serta melakukan amal shaleh,
mereka berhak untuk mendapatkan balasan kebaikan di sisi tuhan mereka. Mereka
tidak perlu hawatir ataupun bersedih hati.[25]
C.
Weltanschauung
Bagian atas
sudah dijelaskan tentang bagaimana konsepsi surga meenurut orang arab pagan,
dan golongan Yahudi dan Nashrani, dan terakhir konsepsi surga menurut
al-Qur’an. Konsepsi mereka mengenai surga sangat jelas perbedaannya, dan hal
ini sangat perlu diperhatiakan. Dari pemahaman Arab Pagan yang kabur, serta
pemahaman Yahudi-Nasrani yang saling mengklaim, al-Qur’an membuat merenovasi
kembali bangunan mengenai konsep surga dengan membuat beberapa
tambahan-tambahan dan memperjelas posisinya.
Ada ayat
al-Qur’an yang harus diperhatikan, yaitu, QS. al-Baqarah: 214,
“Apakah kamu
mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan)
sebagaimana orang-orang terdahulu sebelum kamu? ......”
Hal yang perlu
diperhatikan di sini adalah pertanyaan yang sifatnya mengejek dan mengajak
untuk berfikir kepada manusia akan perbuatan yang pantas mendapatkan balasn
surga. Di sisi lain adalah pertanyaan demikian memiliki indikasi sipenanya
memiliki kuasa atas yang ditanya untuk menetapkan suatu hasil yang dicapai,
yaitu Allah.
Dari sini
kemudian perbendaan konsep al-Qur’an dengan konsepsi orang Yahudi-Nashrani
adalah kedua golongan itu telah menghakimi dirinya sendiri mengenai surga,
sedangkan dalam konsep islam, Allah adalah penentu hasilnya (surga). Tidak
hanya menentukan, Allah juga memberikan wewenang kepada manusia untuk
menggerakkan dirinya dalam menentukan pilihan tersebut, yaitu dengan memberi
peluang untuk beriman, beramal saleh, dan bertaqwa hingga akhirnya dia
mendapatkan Surga.
Oleh kerena itu, konsep surga dalam al-Qur’an adalah bahwa surga tidak berdiri sendiri. Di sana Ada Tuhan yang menempati posisi sentral, ada perjanjian dalam melaksanakan wewanang, dan ada balasan yang akan dicapai. Jika wewenang (amanat) itu dilaksanakan dengan baik, maka surga adalah balasannya, jika sebaliknya maka neraka akan menunggunya.
[2] Toshihiko Izutsu, Reasi Tuhan dan Manusia:
Pendekatan semantik terhadap al-Qur’an, Tiara Wacana (Yogyakarta: 1997),
cet. I, hal. 11
[5] Abu al-Hasan Ahmad ibn Faris ibn Zakariya, Mu’jam
Maqayis al-Lughah, Dar al-Fikr (Bairut: 1907), vol. I, hal. 421
[8] Abu al-Qasim al-Husain ibn Muhammad al-Raghib
al-Ashfahani, al-Mufadat fi gharib al-Qur’an, Dar al-Ma’rifah (Bairut:
tth), hal. 98., lihat juga: Ahmad ibn Faris, Mu’jam Maqayis al-Lughah,
vol. I, hal. 421
[9] Syauqi Dhaif, Tarikh al-Adab al-‘Arabi:
al-‘Ashr al-Jahili, Dar al-Ma’arif (Kairo: tth), cet. XI, vol. I, hal.
67-77 dan 18a
[15] QS. al-Taubah: 72, al-Ra’d: 23, al-Nakhl: 31,
al-Kahfi: 31, Maryam: 61, Thaha: 76, Fathir: 33, Shad: 50, dan al-Shaf: 12.
[16] QS. al-Maidah: 65, al-Taubah: 21, Yunus: 9, al-Hajj:
56, al-Syu’ara’: 85, Luqman: 8, al-Shaffat: 43, al-Thr: 17, al-Waqi’ah: 12 dan
89, al-Qalam: 34, al-Ma’arij: 38, al-Infithar: 13, a-Muthaffin: 22, dan
al-Takatur: 8.
[21] Abu Hafsh ‘Umar ‘Ali ibn ‘Adil al-Dimasyqi, al-Lubab
fi ‘Ulum l-Kitab, Dar al-Ilmiyah (Bairut: 1998), cet. I, Vol. 12, hal.
575-576
[24] Abu al-Qasim Mahmud ibn Umar Al-Zamakhsyari, Tafsir
al-Kasysyaf: ‘An Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta’wil,
Dar al-Ma’ri8fah (Bairut: 2009), cet. III, hal. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar